AKU HARUS APA? SEASON 2 (GELEBAH)

 AKU HARUS APA? 

SEASON 2


Ilham Ramadhan


"GELEBAH" 




Catatan :  Cerita ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Penulis menyamarkan nama tokoh, tempat dan waktu untuk melindungi privasi narasumber. 



“jangankan gedung, gubuk pun aku tak punya... jangankan permata, uang pun aku tiada...”

Sebuah lagu yang aku dendangkan lirih diatas motor dalam perjalananku menjemput Gery, adik pertama yang kusayangi dengan sepenuh hati. Ngomong-ngomong, adikku sekarang sudah kuliah di sebuah universitas ternama di kota ini, universitas nya masuk ke dalam ranking universitas terbaik di Indonesia no 4 pada tahun 2021 kemarin menjadi alasan paling kuat kenapa Gery memilih maktab itu. Ingin rasanya acuh tak acuh pada semua hal yang ku rasakan, tapi percaya atau tidak, aku sangat membenci kegiatan menjemput Gery ini, bukan karena malas atau jauh, tetapi karena aku harus berhadapan dengan situasi yang amat sangat menyayat hati. Mungkin kamu bertanya, kenapa Gery masih ku antar jemput, padahal dia kan sudah kuliah? Iya, itu semua karena kondisi ekonomi keluarga kami yang hanya mempunyai satu sepeda motor yang sedang ku pakai ini, ibu menyuruhku untuk menggunakan motor ini untuk mencari pekerjaan yang mantap dan menghasilkan, yang sialnya sampai saat ini aku belum juga menemui batang hidungnya. Aku sangat merasa gagal dan seolah dicemooh oleh hati kecilku sendiri setiap kali menjemput Gery di kampusnya, senyum merekahnya tatkala menghampiriku diatas motor seakan menghadirkan rasa syukur yang hadir berdampingan dengan rasa sayatan tiada tara untuk pribadiku.

“Seharusnya kamu sudah bisa membawa kendaraan sendiri, bisa berkumpul untuk kerja kelompok atau hanya sekadar bertukar warta dengan kolega sebayamu, seharusnya semua bisa kau lakukan dengan bebas dek.” Ucapku dalam hati.

Ingin sekali ku ucapkan kalimat tersebut setiap kali aku melihat senyumannya di akhir hari, tapi selalu saja lisan ini terperangkap kuat oleh ikatan mata, bibir, gigi dan hati. Alih-alih mengatakan kalimat tersebut, aku malah selalu menyajikan permintaan maaf yang aku sendiri pun yakin dia sudah bosan mendengarnya,

“Dek,..”

“Apa? Mau minta maaf lagi? Gapapa mas. Mas Lukman gapernah ngelakuin kesalahan, ngapain minta maaf terus?” Ketus Gery yang sudah hafal mati semua ucapanku.

Sedikit air mata mengucapkan salam di ujung netra, tidak sedikit rasa bersalah yang terus-menerus mencoba membuncah dalam dada.

“Enggak, tadi ibu nitip beli gula di warung deket rumah. Ingetin ya biar ga kelewatan.” Jawabku mengelak.

“Owalah, okedeeh. Tapi tolong lewat jalan yang kanan dulu ya mas, aku mau beli keperluan untuk presentasi kelompokku besok.” Pintanya.

Aku menganggukkan kepala mencoba memberikan gesture setuju.  

Tiba-tiba Gery mendedahkan sebuah cerita,

“Mas, tadi Gery udah dapet kabar pertama tentang kegiatan KKN untuk kampus, Gery bakal KKN di kota sebelah selama beberapa minggu.” Ucapnya membuka cerita.

“Surabaya?” Tanyaku memvalidasi.

“Ho’oh” Sambutnya.

“Persisnya berapa hari?” Tanyaku kembali penasaran.

“Belum tau persisnya si, tapi tadi pemberitahuannya sekitar 4-5 minggu.” Jelasnya.

“Yasudah, berarti dipersiapkan semuanya, mulai dari sekarang. Coba nanti kamu tanya temen-temen, kira-kira mereka pada nyiapin apa aja. Terus jangan lupa kasih kabar juga nanti ke ibu yaa.” Pesanku menutup obrolan singkat bak umumnya percakapan adik dan kakak laki-laki.

“Oke, siap jenderal!” Pungkasnya.

 

Revo absolute 2010 dengan list merah hitam yang kami naiki berhenti di sebuah lampu merah persimpangan. Hati kami berdua kembali di ketuk oleh seorang anak laki-laki yang mendekati motor kami, aku dapat mengira-ngira umurnya sekitar 6-7 tahun dengan pakaian lusuh dan rambut yang terlihat jelas terkena debu seharian. Tak jelas apa maunya, karena ku lihat dia tidak membawa barang apapun untuk ditawarkan, ku pikir ingin membantu mengelap kaca depan, tapi aku membawa motor. Ku tanyakan langsung padanya,

“Adek mau apa?” Tanyaku.

Terlihat tidak ada sama sekali intensi menjawab darinya, respons yang ku terima hanyalah sorot mata tajam namun lelah ke arah bola mata ini.

“Dek? Adek laper?” Kembali aku mengajukan soal.

Kembali tak ada balasan kecuali tatap mata penat nan merunjam. Aku dan Gery yang duduk di belakang menatap penuh rasa aneh pun juga masih belum mendapat sebuah simpulan apa iktikad dari anak kecil ini. Namun belum habis aku menggumam, ada jawaban tambahan darinya, bersimbol anggukan kecil ragu-ragu. Bocah itu kembali mencoba mendongak keatas secara perlahan, mencari letak mataku dengan rasa bersalah yang bisa ku rasakan. Aku tersenyum padanya sembari mengajaknya ke pinggir jalan. Lampu hijau menyala, semua kendaraan melaju melanjutkan perjalanannya tanpa diriku.

“Adek dimana rumahnya?” Tanyaku memulai percakapan.

Sial, kembali aku tidak mendapatkan jawaban apapun. Aku dan Gery saling bertatapan dengan rasa bingung. Mungkin dia belum bisa menjawab karena rasa lapar tak terkira yang ia tahan. Segera aku dan Gery mengajaknya makan di sebuah warung makan berjarak 500 meter dari alun-alun. Disanalah aku, Gery dan anak kecil itu makan malam. Di sela-sela kegiatan makan malam kami, aku dikejutkan oleh seorang pria berusia sekitar 45 tahun yang duduk tepat di sebelahku,


“Mas, sampeyan kenal sama anak itu?” Dia bertanya.

“Oh, ini? Ini adek saya pak, hehehe. Baru pulang kuliah dari kampus dia.” Jawabku mencoba mencairkan suasana.

“Bukan yang itu, yang satunya. Anak itu lho..” Jawabnya kembali sembari menunjuk dengan ujung dagu.

“Hoalah, yang itu. Nda nih pak, lha gimana? Njenengan kenal?” Aku kembali bertanya sambil mengharapkan sedikit informasi darinya.

“Lho, kalo sampeyan ga kenal, kok malah bisa-bisanya bawa dia makan bareng disini?” Jawabnya yang mangkir dari pertanyaan awalku.

Aku yang merasa ini adalah pelajaran paling sederhana tentang bermasyarakat, dan hubungan antar manusia kembali menjawab,

“Ya kalau ngeliat orang lemes mau pingsan karena kelaperan, kayaknya gaperlu alesan berbelit-belit untuk menolongnya gasi, pak?” Aku menjawab dengan penuh keanehan atas pertanyaan yang ia lontarkan diatas pertanyaan lain.

“Betul si, tapi sampeyan berarti baru kali ini ya ngeliat anak itu disini?” Dia kembali bertanya.

“Kalo itu, iya pak bener. Tadi saya dan adik saya memang lagi mau lewat jalan persimpangan itu tadi karena adik saya mau membeli keperluan untuk kuliahnya besok.” Aku menjawab seadanya.

“Nda, sebenernya njenengan ngerti siapa anak itu?” Tanyaku yang sekarang mulai menaikkan sedikit nada bicara.

“Saya tau, makanya saya tanya sampeyan kok bisa ngajak dia makan disini.” Dia menjawab sembari mengembalikan pandangannya ke arah piring makannya.

“Sebenernya siapa toh pak? Kok kayaknya saya malah melakukan sebuah kesalahan disini.” Aku mulai kesal dengan gaya bicara bapak ini yang seakan berputar tanpa ujung.

“Anak itu namanya Zidan.” Jawabnya sambil memasukkan suapan kedalam mulutnya.

Aku sedikit mengernyitkan dahi seolah tak puas atas jawaban dan informasi yang baru saja ia lontarkan.

“....ttt..teruss?” Aku kembali bertanya dengan rasa penasaran yang kian penuh dalam kepala.


Sembari mengunyah sisa makanan di mulutnya, bapak itu melanjutkan,

“Dia pengemis di lampu merah persimpangan yang kamu lewati tadi. Dia yatim piatu. Dan dia bisu.” Ia menjelaskan bersamaan dengan aku yang sedikit membuka mulut disampingnya menyimak dengan penuh saksama. Pria itu kemudian mengambil gelas berisi teh pahit panas dan meneguknya dengan teratur. Kemudian melanjutkan,

“Dia tinggal di panti asuhan pinggiran kota ini. Dia dulunya tidak bisu, seorang anak kecil yang baik, manis dan selalu ceria. Jangan salah, dia hidup di keluarga yang bisa dibilang mapan, pokoknya hidupnya sangat indah, sampai dia ditinggal oleh kedua orang tuanya karena sebuah kecelakaan.”

Satu alis mataku naik meninggalkan pasangannya.

“Terus selanjutnya gimana, pak? Kok dia sampai tinggal di panti asuhan? Memangnya tidak ada kakek, nenek atau keluarga yang mau mengasuhnya?”

Belum sempat bapak itu menjawab, aku meneruskan pertanyaan yang berdasar kepada pengetahuan minimku.

“Bukannya kalau keluarga mapan atau kaya itu banyak orang yang akhirnya mengaku menjadi saudara dan ingin melindungi dan menyayangi seisi keluarga nya ya?”

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.....”

Bapak itu mengeluarkan tawa yang sudah ia tahan selama 10 tahun dengan sangat puas, sehingga manusia seisi warung itu seketika menghentikan semua kegiatannya sejenak.

“Berapa umurmu, nak?”

“25.” Jawabku singkat karena tidak suka dengan nada bicara bapak ini.

“Panteess...” Jawabnya sembari menghabiskan sisa makanan yang ada di piringnya. Kemudian ia melanjutkan

“Gapapa, masih banyak pelajaran tentang kehidupan yang harus kamu tau kedepannnya. Tapi saya mau ngasih satu pelajaran hari ini, disini.”

Kemudian bapak itu menyentuh bahu kiri ku sembari menyampaikan pesan yang ingin disampaikan olehnya

“Nak, nda semua orang di dunia ini melaju sesuai arus dan alur cerita dalam rel kebaikan. Di zaman sekarang, ada beribu jalan kebaikan yang bisa manusia pilih, tetapi mereka pasti akan menemukan berjuta jalan keburukan yang akan mereka ambil. Keputusan dan pilihan yang mereka ambil pada akhirnya bukanlah kewajiban kita untuk bertanggung jawab atasnya. Tugas kita adalah memberikan informasi bahwa ada beberapa halte pilihan yang di dalamnya ada banyak nilai plus dan minusnya. Ketika kita sudah memberikan informasi itu, sudah lunas kewajiban kita untuk orang itu. Begitupun kita, ketika kita sudah tau bahwa kita terlewat satu halte, segera turun di halte terdekat setelahnya, jangan malah lanjut ntah sampai halte yang mana. Karena satu-satunya pilihan terbaik ketika kita terlewat halte tujuan kita adalah turun dari bus itu dan mencari bus yang akan mengarah kembali ke halte yang benar. Tapi ini bukan tentang halte ya, nak.” Ia menutup kalimatnya dengan senyuman tulus nan merekah.

Tanpa sadar, mulut ini sedikit membuka dan otakku seperti tersambung jaringan kembali setelah sekian lama.

“Keluarga terdekat Zidan setelah kepergian orang tuanya sama sekali tidak menganggap dia sebagai anak yang baik dan manis lagi. Tidak ada satupun keluarga terdekatnya yang mau mengasuh dan mengadopsinya, akhirnya Zidan dititipkan ke panti asuhan di sana.” Ia melanjutkan penjelasannya tentang Zidan.

“Terus, maaf pak, mulutnya?” Aku kembali bertanya tentang topik yang hampir hilang.

“Di sana lah Zidan akhirnya mengalami pengalaman yang nda mengenakkan. Karena hampir setiap hari dan setiap waktu si Zidan ini menangis terus, salah satu pengasuh senior disana sering menyiramkan air panas ke mulut Zidan, nda Cuma itu, mulutnya juga sering sekali dipukul dengan benda berat. Sampai pada akhirnya, otot dan syaraf mulutnya jadi ada trauma berat dan nda berfungsi lagi.”

Mulut ku kembali terbuka, kali ini serasi dengan keluarnya air mata yang tak bisa tertahan.


Belum selesai aku menikmati rasa yang mengiris hati ini, bapak ini berdiri dan berjalan ke kasir, meninggalkan aku yang masih terpaku mendengar ceritanya. Mataku tak bergeser satu inci pun dari pandangan ke taplak meja makan ini. Samar-samar aku mendengar bahwa bapak itu meminta kasir untuk menghitung biaya total makan kami bertiga, aku sangat ingin melarang bapak itu melakukannya, namun rasa tergemap yang belum selesai ini mengalahkan niat dan langkah kaki ku untuk melarangnya. Terlalu dalam luka dan nestapa yang dirasakan oleh Zidan. Lamunan ku dibangunkan oleh sepasang tepukan lembut oleh tangan bapak itu, aku melihatnya ke arah pintu keluar dan berusaha mengeluarkan motornya dibantu tukang parkir.

Aku bergegas sedikit berlari ke arahnya, sesaat sebelum menghidupkan mesin motornya, aku memegan tangan kanannya dan bertanya

“Pak, ngapunten mau tanya, kok njenengan bisa tau semua kisah si Zidan. Njenengan ini punya hubungan apa dengan si Zidan ini pak?”

Dengan senyuman familiar dan kepalanya yang sudah terbungkus helm, ia menjawab

“Saya teman ayahnya. Dulu saya dan ayahnya Zidan pernah kerjasama di sebuah bisnis. Sudah ya, saya lanjut dulu.”

Aku mengangguk pelan sembari melihatnya makin menjauh dari warung makan malam itu. Sekejap setelah aku melihat hilangnya lampu belakang motor bapak itu, aku dikejutkan oleh teriakan histeris Gery dari dalam warung makan

“MAAAAAAAAAAASSSS!!!!!!!!! MAS LUKMAAAAAAAAANNN!!!!! ZIDAN NYAAAAAAA!!!!!!”


// BERSAMBUNG //


Komentar

Postingan Populer