AKU HARUS APA? SEASON 2 (PROLOG)

AKU HARUS APA? 
SEASON 2

Ilham Ramadhan 

"PROLOG"





 

Catatan :  Cerita ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Penulis menyamarkan nama tokoh, tempat dan waktu untuk melindungi privasi narasumber. 


BRAAKKK!!!!

Suara dari gebrakan pintu kamar yang ku tutup, disusul dengan jatuhnya badanku di kasur ini. Sembari menatap langit-langit kamar, aku berfikir... "Kenapa ya, tidak semua orang punya nasib yang baik?", "Kenapa tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memilih mana yang bisa dia tentukan sendiri, walau mungkin hanya sekadar menentukan hidup kedepannya?". Tarikan nafas ke semakin dalam dan semakin berat memikirkan semua yang telah terjadi beberapa waktu ke belakang. Menyaksikan sendiri berbagai macam anomali dan fenomena yang terjadi di lingkunganku sendiri ini. Teman, pekerjaan, asmara, bahkan sampai ke keluarga.

Melayang kembali lebih jauh pikiranku ke satu titik kejadian dimana saat itu ku kira akan menjadi titik balik dari kehidupan ku. Sebuah kesempatan yang tanpa pikir panjang langsung ku ambil, sebuah tujuan hanya untuk mendedikasikan intensi diri ini ke arah yang lebih baik. Sebuah runtutan kejadian yang berlangsung selama 1 bulan penuh. Semua impian, cita, dan harapan seakan mengantri ingin menyalami ku satu per satu, seolah memberikan ucapan dan harapan bahwa diriku telah berhasil di satu titik kehidupan cukup dan harusnya bisa seperti menaiki motor yang ingin melewati tanjakan dengan gigi satu naik perlahan tapi berjalan.


Biar ku jelaskan, berlatar tahun 2007, di sebuah kota besar yang tak jauh dengan tempat tinggal ku sekarang. Aku bertemu dengan seorang pria yang sampai saat ini masih sangat ku rindukan, dia adalah pamanku, namanya Beni. Paman Beni adalah adik dari ibu ku, seorang pria 40 tahun yang sudah berkeluarga dan mempunyai 3 orang anak dan hidup bahagia dengan keluarga nya di sebuah rumah megah di pinggir kota, aku memanggilnya Om Ben. Om Ben adalah orang yang sangat baik, lembut namun tegas, seorang pria mapan dengan bisnisnya yang malang melintang, bahkan mempunyai sebuah kantor berwujud gedung yang menjulang sampai ke langit, namun pribadi nya yang membumi lah yang menjadi alasan ku menarik garis panutan ku padanya. Pria ber poin 9 dari 10 itu hanya mempunyai satu pilihan kostum kemanapun ia pergi, sepatu simple, dengan kemeja yang lengannya digulung setengah dan celana jeans.  Sederhana, tapi rapi dan dapat memanjakan mata, mungkin karena aura kekayaan dan rendah hati yang terpancar dari dalam dirinya. 

Aku diajak dan dikenalkan Om Ben pada sebuah perusahaan ternama di kota nya, katanya sambil mengisi waktu luang menunggu hasil pengumuman kelulusan ku, lebih baik aku mencari kesibukan yang menghasilkan, alias bekerja. Singkat cerita, ku iyakan saja ajakan dari pamanku itu, dengan gaji yang lumayan, serta posisi yang menurutku sesuai dengan passion ku saat itu, membuat aku berfikir bahwa ini adalah anugerah yang patut untuk ku syukuri, ditambah dengan nilai plus yaitu aku bisa membantu ibu dan adikku untuk urusan finansial, kan?. Tapi anugerah yang paling indah sebenarnya bukan hanya dari kesediaanku membantu orang tua dalam masalah finansial saja, melainkan aku menemukan seorang bidadari yang turun dari surga dan mendarat tepat di depan mataku. Seorang wanita yang sangat ingin ku lindungi jiwa dan raga nya dari segala gangguan dunia luar yang sangat jahat. Wanita yang berbeda dari yang lain, wanita yang memancarkan aura kecantikan luar dan dalam.

Namanya adalah Sofia, wanita dengan tinggi 150cm dengan rambut hitam terurai sebahu nya, ditambah kacamata dan tawa yang sangat indah membuatku selalu berhenti sejenak disaat aku menatapnya. Sebenarnya dia bukan tipikal primadona yang ketika siapa saja melihatnya akan terpana, tapi bagiku dia adalah satu-satunya. Dia masuk di perusahaan itu tidak lama setelah aku mulai bekerja dan mendapatkan posisi atas bantuan dari Om Ben, sebagai seorang freelance di perusahaan tersebut, dia mempunyai semangat kerja dan niat belajar yang tinggi, tak heran dia diangkat menjadi karyawan tetap lebih dulu ketimbang aku. Setiap malam aku memikirkan semua hal tentangnya, imutnya, tawanya, ramahnya, sampai langkah kaki nya. Catatan besar,  aku bukanlah orang yang terobsesi padanya, hanya saja baru pertama kali ini lah aku merasakan sebuah arti, aku tidak tahu dengan kata apa menyebutnya, mungkin kata yang paling tepat adalah "CINTA".

 

Kisahku dengan Sofia bermula dari satu kejadian lucu nan menegangkan bagi kami berdua, saat itu dia sedang ada jadwal untuk mempresentasikan hasil kerja dari divisi tempat dia bekerja, pada saat-saat genting seperti itulah si gadis kembaran kurcaci ini membawa laptop nya tanpa data yang sudah ia siapkan semalaman. Sialnya divisiku dan dia sangat berkaitan, sehingga berhasil atau tidaknya presentasinya hari itu juga akan berpengaruh kepada divisiku. Sebagai seorang anak “titipan” dari Om Ben, tentu saja aku menghindari semua hal yang berkaitan dengan kasus dan kejadian “pengacau” kepercayaan Om Ben. Entah darimana datangnya, pikiranku dengan Sofia waktu itu seolah disinari oleh sinar fajar yang akhirnya terbit setelah seseorang merasakan malam panjang yang menikam. Bermodal dengan laptopku yang pada saat itu sedang update antivirus, ku tawari Sofia bantuan untuk mengerjakan laporan divisinya di laptopku, nasib baik wanita cantik itu masih ingat semua hal serta data yang dia kerjakan sebelumnya walau tidak sepenuhnya, sedikit demi sedikit kami mengerjakan laporannya yang tidak jelas dimana rimbanya. Benar saja, satu jam bergulat dengan isi pikiran dan performa dari laptopku yang usianya sudah menginjak pendidikan TK.

Hembusan nafas lega membarengi rasa syukur atas lancarnya presentasi kami hari itu, sebuah warung sederhana yang buka bersamaan dengan konstruksi di depan kantor kami bekerja menjadi tuju, kami memesan dua nasi rames dan kopi serta susu. Di warung itu aku akhirnya tau, nama lengkapnya Sofia Eria Ayu. Anak pertama dari 4 bersaudara yang jauh dari orang tuanya di Indramayu. Batinku secara kilat menarik kesimpulan atas semua kerja keras dan kegigihannya yang sudah ada dari dulu, bukankah anak sulung selalu jadi tumpuan untuk adik, ayah dan ibu?.

 

Satu lustrum telah ku lewati bersamanya, hingga pada akhirnya kita berdua terpaksa menjalin hubungan jarak jauh, dia kembali ke kota asalnya dan aku tetap disini mengurusi ibu dan adikku. Semua tetap berjalan indah layaknya FTV di SCTV yang kadang bertugas menemani orang-orang insomnia di tengah malam, hingga pada suatu hari aku mendengar kabar bahwa Sofia mengalami tragedi kecelakaan maut dan meninggal di tempat. Sesak? tak perlu ditanya, hampa? tak usah ku paparkan, kehilangan? satu kata yang sangat jelas, masih bersedih sampai saat ini? jawabannya tidak. Entah kenapa aku tidak lagi merasakan duka dan kehilangan yang amat dalam seperti saat itu, mungkin memang alasannya hanya bertumpu kepada “hidup harus tetap berjalan apapun yang terjadi”. Di sisi lain, aku sudah pernah merasakan dan mungkin sudah terlatih kehilangan seseorang yang sangat aku cintai, yaa... aku sudah pernah kehilangan ayahku saat masih kecil. Merindukan sosok ayah yang harusnya menjadi panutan dan contoh untuk hidup bermasyarakat dan mandiri itu sangat sakit untuk dirasakan, dan sialnya aku merindukannya setiap hari terutama akhir-akhir ini, karena di sinilah aku sekarang, seorang pria yang harusnya sudah membina keluarga dan menaiki tangga agar mencapai titik mapan pun ternyata masih belum menemukan titik terang, minimal hanya untuk satu poin kehidupan, entah itu pekerjaan yang akan mempengaruhi finansial, asmara yang akan ikut mendukung susunan kehidupan, atau bahkan menemukan diri sendiri agar tidak terseok-seok mengikuti arus kehidupan yang kian berantakan.

 


TOK TOK TOK!!! TOK TOK TOK!!! TOK TOK TOK!!!

Ketukan pintu kamar membangunkanku dari lamunan panjang ini. Ah sial, bercampur aduk sudah rasa yang ku nikmati hanya dengan menatap langit-langit kamar dan pikiran sekali lewat. Rasanya wajahku menampilkan pentas senyuman merekah dengan bibirku disusul dengan terjunnya air kesedihan dari kedua mataku.

TOK TOK TOK!!! TOK TOK TOK!!!

Kembali ketukan pintu kamar itu mengagetkanku yang masih berusaha memproses semua memori yang membelai pemikiran dan hati ini.

“LUKMAAAANNN!!!!”

“IYAAAAA,,, SEBENTAAAR”

Aku segera menyeka air mata yang masih singgah di wajah ini karena memori berkecamuk dan berperang secara singkat. Kulihat gawai ku dan menampilkan jam analog di 16.40 sore.

“Kacau, aku harus menjemput adikku sekarang.”

Bergegas mengganti baju dan celana, mengambil helm yang tadi ku buang secara asal karena lelah mencari sebuah tujuan yang akhir-akhir diinginkan olehku dan ibu.

“Lukman, adikmu itu lho nak, cepet dijemput, kasian.” Seru ibu yang sedang menyiapkan makan malam dari dapur.

“Nggih, ibu. Ini Lukman lagi siap-siap. Jemput di tempat biasa, kan?”

“Iyaaa.” Jawab ibu dengan sedikit teriak.

 

Iya, ini ceritaku. Lukman Hadi Pratama.

 


// Bersambung //

Komentar

Postingan Populer