AKU HARUS APA? SEASON 2 (GAMA)


  AKU HARUS APA? 

SEASON 2


Ilham Ramadhan


"GAMA" 






Catatan : Cerita ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Penulis menyamarkan nama tokoh, tempat dan waktu untuk melindungi privasi narasumber. 


ASTAGHFIRULLAH!!! YA ALLAH!!! AAAA!!!!

Kata-kata itu lah yang aku dengar bersautan secara bergantian dari dalam warung menyusul teriakan Gery yang tadi memanggilku. Segera aku berlari ke dalam warung dan melihat keadaan yang kembali mengiris hati, aku melihat kepala Zidan tergeletak diatas meja makan dengan mulut yang mengeluarkan sedikit busa. Dari pintu inilah aku melihat adikku kacau tidak karuan melihat kondisi di depannya. Tukang parkir menabrakku dari belakang sambil berlari menuju Zidan yang sudah lunglai.

“Siapa yang bawa mobil, cepet siapin, kita ke RS sekarang!” Tukang parkir itu memberikan komando kepada seisi warung.

Suasana tenang dan nyaman di warung makan malam ini berubah seketika menjadi mencekam karena Zidan. Tanpa mengeluarkan kata sedikitpun, aku langsung menarik tangan Gery dan mengajaknya pulang, aku sangat takut Gery nantinya memiliki trauma karena kejadian yang ia lihat di depan matanya. Gery mengambil tas dan beberapa dokumen yang ia bawa dari kampus tadi, bergerak dengan cepat mengikutiku ke atas motor. Aku langsung bergerak mengeluarkan motor dan pergi dari tempat itu.

Seperti yang bisa dibayangkan, sisa perjalanan pulang kami dipenuhi oleh kesunyian dan dinginnya angin malam di sepanjang jalan. Jangan salah, aku sudah bosan mencoba mengajak Gery bicara, sekadar mencari sedikit informasi yang mungkin sekiranya bisa Gery berikan padaku tentang apa yang terjadi pada Zidan, Namun hasilnya nihil besar. Bukan kepada Zidan, pikiranku seutuhnya penuh dengan rasa takut dan risau akan keadaan Gery sekarang, tetapi aku akan selalu mencoba berbaik sangka. Rasa penasaran ku ternyata lebih besar dari pengertian yang harusnya aku sajikan kepada Gery. Ah,  mungkin kalau aku coba ajak bicara lagi, Gery akan mencoba membuka mulutnya?

 

“gery” Aku mencoba kembali untuk menyapanya dengan lirih, namun tetap ku usahakan tidak tertutup oleh berisiknya angin.

“hmmm” Suara kecilnya sedikit menjawab semua kerisauan ku.

“Gery gapapa?” Entah kenapa malah itu yang keluar dari mulutku, bukannya langsung menanyakan apa yang terjadi pada Zidan. Tapi tak apa, mungkin itu jalan yang paling benar untuk saat ini.

“gapapa.” Singkat, padat, menyengat.

 

Singkat cerita, kami sampai di gubuk ternyaman kami. Aku baru menyadari bahwa walaupun masih dalam keadaan tertegun berat pun, Gery adalah anak yang disiplin. Dia masih menyempatkan dirinya untuk duduk dan melepas sepatu kemudian menaruhnya di rak sepatu dengan rapi, baru lah setelah dia mengetuk pintu dan mengucapkan salam, sangat terlihat dia gelisah tak karuan. Pintu dibuka oleh ibu, setelah mencium tangannya, Gery langsung mengambil langkah seribu ke kamarnya, tidak memperdulikan pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu dan sambutan hangat oleh Fajar, adik bungsu ku. Pintu ditutup rapat tanpa celah, tak ada yang suara sama sekali setelah itu. Ibu mengernyitkan dahi nya sembari menengok ke arahku. Sedikit mengarahkan kepalanya ke arah pintu kamar Gery, ibu bertanya kepadaku

 

“Kenapa adikmu? Ada yang jahat ke dia? Ada kejadian ga enak kah di kampus tadi?”

“Bukan di kampus bu kejadiannya.” Aku menjawab setelah menghembuskan nafas yang berat.

“Masuk dulu, bebersih.” Pinta ibu.

 

Dalam perjalanan ke kamar ku untuk membersihkan diri, aku berfikir sedikit dalam, mungkin pelajaran dan peraturan tak tertulis seperti inilah yang harus aku ambil dari ibu. Ketika melihat orang lain dalam keadaaan yang tak seperti biasanya –apalagi dari luar- seharusnya tidak langsung mengorek informasi apapun secara langsung, tunggu semua keadaan tenang dulu, dan suasana hati yang memungkinkan untuk sekadar bercerita.

Setelah aku membersihkan diri dan berjalan menuju kamar, aku dihentikan oleh ibu di ruang tamu, ibu mengajak aku untuk duduk di sebelahnya.

 

“Mas Lukman, Sudah makan?” Tanya ibu dengan lembut.

“Sudah, bu. Tadi sama Gery mampir di warung makan.” Aku bingung harus memulai semua cerita satu malam yang penuh adrenalin ini dari mana.

“Bener? Makan apa mas? Gery yang minta atau gimana?” Tanya ibu kembali.

 

Mungkin dari sini lah aku bisa menceritakan semua hal dari awal yang memang bermula dari pemilihan rute pulang yang berbeda. Ku ceritakan semua sedetail mungkin apapun yang aku dan Gery alami malam ini. Ibu menyimak sembari menyuguhkan senyuman manis nan hangat yang bisa membuat bukit adrenalin yang masih tersisa di hati ini hancur bagai ditiup angin tak bersisa. Meskipun begitu, melihat impresi yang dihadirkan oleh ibu, aku agak bingung, kenapa justru senyum yang coba diperlihatkan olehnya..?

Selesai aku bercerita secara lengkap, Ibu memandangku dengan sejuta misteri yang disimpan di kantung matanya. Belum sempat ibu mengeluarkan satu huruf dari mulutnya, kami berdua dikejutkan oleh suara pintu kamar Gery yang terbuka, Gery berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

 

“Gery? Sudah shalat belum, nak?” Tanya ibu.

Jawaban yang kami lihat berdua adalah anggukan kecil dari kepala yang kemudian hilang tertutup pintu kamar mandi.

“Tuh kan, bu.” Aku menggerutu.

“Ndapapa, mungkin dia masih kaget dengan apa yang dia lihat tadi.” Ibu mencoba menenangkanku.

“Sekarang mas Lukman shalat dulu, setelah itu istirahat ya, mas.” Titahnya.

“Nggih, bu.” Jawabku sambil menundukkan kepala.

Aku berjalan menuju kamar dengan handuk yang masih di kepala. Otak ini kembali mencoba memproses segala kejadian yang terjadi hanya dalam sekejap setelah shalat. Kembali mata ini memandangi langit-langit kamar yang tidak berubah sama sekali seperti saat aku memikirkan semua hal yang kacau sore tadi. Namun kali ini, isi pikiran semakin penuh oleh satu topik yang tak berujung saat ini. Ada banyak pertanyaan yang menyeruak di hati ini, seperti “Apa yang sebenarnya Gery lihat tadi?”, “Bagaimana awal mula semua ini terjadi?”, “Bagaimana keadaan Gery sekarang?”, “Apa yang dia pikirkan dan rasakan sekarang?”, atau bahkan “Bagaimana keadaan Zidan sekarang?”. Tak sadar aku dalam lamunan yang memusingkan, ternyata handuk masih diatas kasur, ku ambil benda itu dan beranjak dari kasur untuk mengembalikannya ke tempat seharusnya.

Dalam perjalananku memulangkan handuk, aku terkejut melihat Gery dan ibu saling berbalas obrolan, langkah kaki ini melaju tegak lurus menuju ruang belakang, namun mata ini tetap sofa hijau dimana mereka berdua duduk dan mengobrol. Sekilas aku melihat ibu memberikan lirikan tajam ke arahku yang sedang berjalan, tak lupa dengan irisan senyum yang cukup membuat rasa penasaranku makin tak terkendali. Setelah aku menaruh handuk di belakang, aku mengambil langkah seribu ke sofa hijau tempat ibu berada, yang saat ini sudah tak ada Gery.

 

“buu” Bisikku lirih.

“ha? kenapa?” Tanya ibu yang juga berbisik padaku.

“kok kenapa si, jadi gmn? tadi ada apa? gery sudah cerita semua?” Tanyaku penasaran.

Tak ada jawaban lain selain senyuman dan anggukan kecil dari ibu. Ku lihat matanya tak terfokus padaku, segera ku bantu melipat tumpukan baju yang ada di depannya, dengan harapan bisa mendapatkan informasi dengan mengobrol dan membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah. Ternyata caraku berhasil, ibu mulai membuka ceritanya.

“Tadi siapa nama anak itu, mas?”

“Zidan, bu?”

“Iya, si Zidan. Tadi Gery sempet ngobrol sama Zidan waktu kamu lagi ngobrol sama bapak bapak ya katanya.”

Aku bahkan tidak sempat memvalidasi pertanyaan dari ibu, aku terlalu sibuk dengan kebingungan yang makin memuncak di kepala ini.

“Hah?? Ngobrol?? Kok bisa??” Aku mengernyitkan dahi sehingga kedua alis mataku bertemu di tengah.

“Bukannya si Zidan itu gabisa ngomong ya?” Aku menambahkan. Mencoba merevisi informasi yang baru ku dengar.

 

Kali ini ibu diam seribu kata, ku lihat dengan jelas senyum di bibirnya tetap tulus dan membuat nyaman hati, matanya tetap memandang ke tumpukan pakaian yang saat ini telah berkurang karena kami lipat berdua. Tetapi ada satu hal yang berbeda kali ini, aku melihat air pasukan air mata yang sepertinya membantu satu sama lain untuk tidak jatuh dari ujung netra orang tulus ini.

“Sudah mas, sekarang mas Lukman istirahat ya.” Ibu memerintahkanku sembari mengelus pundakku dan segera membereskan pakaian yang sudah kami lipat berdua tadi.

“Sudah, istirahat sana. Besok dilanjut ceritanya ya, ini sudah malam, ibu juga udah ngantuk dari tadi nunggu kalian pulang, ini tadi pingin beresin pakaian yang udah lama ga keurus aja.” Ibu menutup obrolan malam inihar.

 

Aku yang masih menyimpan sejuta pertanyaan atas kejadian hari ini sama sekali tidak bisa membantah dan melawan apa yang sudah dikatakan oleh manusia yang paling kusayangi ini. Aku mengangguk pelan dan bertolak ke kamarku. Aku mampir ke kamar Gery dan sedikit membuka pintu kamar Gery yang juga menjadi kamar dari Fajar, dari celah pintu, ku mengintip kedua adikku itu tertidur pulas. Rasanya sudah menjadi sebuah kebiasaan bagiku untuk berharap dan mendoakan semua yang terbaik untuk kedua adikku yang sedang menjelajah dunia mimpi itu.

 

“Semoga kamu bisa mendapat semua hal baik yang kamu inginkan dan harapkan ya, jar.” Gumamku.

Sekejap, arah pandangku berubah ke Gery,

“Semoga kamu sehat selalu ya, dek. Tapi ayolah, bagi sedikit apa yang kamu simpan itu, dek. Sebenarnya apa yang kamu simpan seharian ini.”

Dua suara hati untuk dua orang terkasih milikku, tapi memang ada sedikit perbedaan malam ini, hahahaha.

Kembali ku baringkan badan ini diatas kasur, pemandangan yang sama setiap hari, setiap waktu ketika aku beristirahat dari kejamnya dunia. Aku mengambil gawai dan menghidupkannya, layar silaunya menunjukkan saat ini sudah pukul 11 malam. Jika tidak ada norma kesopanan, aku ingin sekali berteriak sekuat tenagaku saat ini juga, tapi kemudian aku berpikir, mungkin hal-hal baik akan datang dengan bersabar. Ya, seperti ibu, bersabar dalam menghadapi sesuatu, tidak tergesa-gesa dan tidak memaksakan kehendak apapun itu yang bersifat impulsif. Mungkin karena badan ini terlalu lelah atas semua kejadian hari ini, aku langsung tertidur pulas, tidak lagi memikirkan semua hal yang masih bersarang di benak ini.

 

Pagi menyapa, seperti biasa, yang pertama ketika aku membuka mata adalah ibu yang berdiri di pintu sembari memanggil halus namaku untuk membangunkanku shalat. Aku tersenyum, ternyata sampai saat ini, aku masih mempunyai satu orang yang sangat sangat tulus mencintaiku tanpa syarat disaat diri ini sudah dipecundangi oleh dunia. Aku segera mengambil air wudhu dan menunaikan shalat. Selesai shalat, aku mendengar suara ibu memanggil namaku.

 

“Iya, bu? Ibu manggil Lukman?” tanyaku setelah menghampirinya persis di tempat kami mengobrol semalam.

“Iya, siap-siap mas, habis ini ibu minta tolong dianterin ke rumah makan yang kamu datengin sama Gery semalem ya.” Pintanya.

Walaupun ada sedikit pertanyaan di hati ini, tapi aku segera mengangguk dan mempersiapkan diri.

 

Tepat pukul 08.00 pagi, aku menunggu ibu diatas motor, tak hanya jari yang menggeser layar ke atas dan ke bawah, kedua bola mata ini juga mengikuti gerak tangan dalam rangka mencari informasi tentang pekerjaan yang sekiranya bisa ku lamar. Tak lama setelah itu, ibu menaiki motor secara perlahan, aku memasukkan ponsel itu ke kantong celana, dan menancap gas menuju destinasi yang diminta ibu.

Sampailah kami di warung makan yang semalam aku dan Gery sambangi, tujuan utama ibu setelah turun dari motor adalah meja kasir rumah makan itu, aku hanya menunggu diatas motor dan berbincang sedikit dengan tukang parkir yang semalam melantangkan perintahnya kepada semua orang di dalam warung. Tentu saja, penasaran ini belum hilang, ku layangkan beberapa pertanyaan dengan runtut kepada abang parkir.

 

“Kejadian semalem gimana bang? Anak bisu itu sudah dibawa ke RS? Gimana keadaannya sekarang? Sebenernya dia kenapa sih, bang?”

“Oooh, sudah. Semalam sudah dibawa ke RS. Kata perawat, dia keracunan makanan, tapi bukan karena makan disini, makanan beracun yang ada di badannya itu sumbernya adalah makanan yang dia konsumsi dari siang.” Jelasnya.

“Owalaaaaah, jadi dia tu sebenernya keracunan toh? Saya kira ada apa bang. Semaleman saya tanya ke adik saya yang kemarin saya ajak makan disini, dia malah ikut-ikutan kayak Zidan, hahahaha.” Jawabku mencoba mencairkan suasana.  

 

Aku memalingkan wajahku ke dalam warung makan dan mendapati ibu sedang berbincang serius dengan sang kasir disana, dengan sesekali lirikan mata ibu melihat ke arahku. Mungkin begitulah sosok ibu yang baik, dia mencoba memvalidasi semua kejadian yang dialami oleh anak-anak tersayangnya, mungkin supaya aku dan Gery tak lagi menyimpan dan merasakan rasa bersalah yang mungkin saja kami pendam. Menurutku untuk saat ini, mencoba meluruskan semuanya adalah satu hal yang paling benar, dan itu sedang dilakukan oleh ibuku, pemirsa sekalian. Aku dikejutkan oleh getaran ponsel dari saku, ku lihat ternyata ada notifikasi dari sebuah aplikasi penyedia informasi tentang pekerjaan. Sial, aku mendownloadnya dari 10 bulan yang lalu, dan sampai saat ini belum ada satupun rekomendasi darinya yang menurutku cocok. Kembali ku masukkan ponsel ku kedalam saku dan kali ini ku lihat ke arah warung makan, ibu sudah berjalan kembali kepadaku.

 

“Mas, kita ke rumah sakit sekarang ya, jenguk si Zidan.”

“Boleh, bu. Sekalian aku mau ngeliat secara langsung gimana keadaan si Zidan. Eh, tapi memangnya ibu tau di rumah sakit mana?” Tanyaku.

“Tau kok, nanti ibu arahin di jalan ya, mas.” Pungkasnya.

 

Aku dan ibu berlalu tanpa berpamitan dengan abang parkir tadi, karena memang dia sedang tidak ada di tempat. Ah, mungkin dia sedang memandu keluarnya kendaraan di seberang. Tukang parkir segagah dan segarang dirinya mungkin memang merajai semua wilayah parkiran di sekitar sini.

Sampailah kami berdua di rumah sakit yang dimaksud, hari ini tempat parkir di rumah sakit agak longgar, jadi aku dengan mudah memarkirkan kendaraanku, aku sengaja memilih tempat yang dekat dengan pintu keluar rumah sakit, supaya nanti ketika pulang, tidak perlu berputar-putar terlalu jauh. Aku dan ibu memasuki koridor rumah sakit, dan segera menuju pusat informasi, ibu bertanya kepada petugas rumah sakit itu, ditemani aku yang mungkin terlihat seperti anak kecil yang ingin mengambil rapor. Setelah mendapatkan informasi tentang kamar dimana Zidan dirawat, aku dan ibu menyusuri lorong rumah sakit menuju kesana, di perjalanan inilah aku mengetahui bahwa tidak ada sama sekali yang mengurus atau hanya sekedar menunggu Zidan di rumah sakit, sungguh malang anak itu.

Ibu memasuki ruangan Zidan, sialnya aku tidak bisa ikut membersamai ibu ke dalam, beberapa alasan dari pihak rumah sakit adalah karena ini bukanlah jam besuk, kemudian untuk menjaga kenyamanan dan mencegah terjadinya penyebaran virus, jadi pihak rumah sakit membatasi jumlah pembesuk yang ingin masuk ke ruangan. Hmmm, alasan yang bisa diterima sebenarnya, tetapi aku agak sedikit kesal bercampur sedih karena tidak bisa melihat Zidan secara langsung.

“Ah, sudahlah, tak apa, toh juga nanti bisa gantian sama ibu.” Gumamku.

Alhasil, aku hanya mengintip dari jendela kaca kamar yang tembus pandang, saat ini posisiku persis seperti seorang adik kelas 4 yang melihat kakak idaman sedang ujian tengah semester di kelasnya. Tak lepas doa ku panjatkan untuk Zidan, berharap semua baik-baik saja, dan tidak ada masalah yang serius. Di sela doaku yang khusyuk, mataku menatap tajam ke satu arah, yakni mata kanan Zidan. Aku bukanlah pengidap alzheimer, masih sangat jelas dan segar di ingatanku bahwa semalam mata kanan Zidan masih normal seperti seharusnya. Tapi  dari sini aku dapat melihat dengan sangat jelas bahwa mata Zidan merah keunguan dan sangat bengkak seperti buah bit yang hampir busuk. Memang sejelas itu penampakannya, sampai-sampai aku yang berdiri dari kejauhan saja bisa memastikan bahwa itulah yang terpampang.

 

“Kok? Itu kenapa bisa sampai begitu? Ada yang memukulinya kah? Ada yang menganiaya kah? Atau ada kejadian yang ku lewatkan semalam kah? Siapa pelakunya? Gery? Kasir warung? Tukang parkir? Atau orang yang mengantar Zidan kesini? Atau malah dokter dan perawatnya?” Tanpa sadar, suara di dalam hatiku itu terucap lirih hingga kedua telingaku menjadi saksinya. Aku memandang ke lantai rumah sakit yang sengaja dibuat putih bersih tanpa motif hanya untuk menghadirkan kesan hampa bagi siapa saja yang memasuki bangunan ini. Begitu banyak sudah kesedihan hati yang dirasakan oleh Zidan, masih saja ada orang yang mau berbuat jahat kepadanya, sebenarnya apa salah dia? Dosa apakah kedua orang tuanya sampai semua orang benci kepada anak se suci ini?

Lamunanku terhenti oleh suara pintu terbuka, ibu keluar dari kamar itu dan menatapku dengan dalam.

“Sudah, bu? Gantian yaa, aku mau masuk ke dalam.”

Gagang pintu kamar rawat Zidan sama sekali tak tersentuh olehku, tanganku ditahan oleh ibu sekuat tenaga, baru kali ini aku mengetahui bahwa ibu sekuat ini. Mataku berjalan dari tangan ibu yang sibuk menggenggamku ke arah dua bola matanya, kali ini air mata dengan deras mengalir dari kedua netranya.

 

“Bu, ibu kenapa? Kok nangis? Karena Zidan, ya? Iya buu, Lukman pun heran kok sampe ada yang sebegitu jahatnya ke Zidan.” Aku mencoba menenangkan ibu yang sedang terisak, sembari mencoba melepaskan genggamannya.

Diluar dugaan, pergelangan tangan ini ternyata semakin kuat digenggam olehnya, dan kali ini suara tangis ibu menemani air mata yang sudah tertumpah darinya. Aku sangat bingung dengan keadaan ini, berulang kali aku bertanya kepada ibu apa yang terjadi, tetapi saat ini ibu sedang menjelma sebagai Gery yang ku wawancarai semalam, tidak ada jawaban. Akhirnya aku duduk memandangi ibu yang kini bersimpuh di lantai, aku mencoba menunggu dengan sabar sampai nanti beliau ingin menyampaikan sesuatu. Namun sialnya, tangisan ibu sama sekali tak berujung, hingga sampai di titik ibu sedikit berteriak kepadaku dengan nada tegas bercampur tangisnya

 

“INI SEMUA SALAH KAMU, MAS LUKMAN!”

 


 

//BERSAMBUNG//




Komentar

Postingan Populer