TAHAPAN KETIGA
Tahapan
Ketiga
Hana
J
____
“Alin?!”
Sonya berharap ia salah mengenali, namun tidak,
perempuan yang sedang meringkuk berusaha bersembunyi itu memang benar rekan
kerjanya. Rambut disanggul, seragam putih yang sama, dan sendal karet yang
dipakai, semuanya seolah meneriakkan nama Alin.
Tapi kenapa? Kenapa Alin di sini?
Perlahan perempuan itu meletakkan kembali emas
batangan yang sedari tadi ia dekap di dada. Tangannya ia angkat ke atas seolah
kriminal yang baru saja tertangkap basah.
“Son, kamu tenang dulu, nanti aku jelasin semuanya,”
ujar Alin dengan suara terengah-engah akibat gugup. “Sekarang kita ambil aja
dulu emas yang bisa kita bawa,” lanjut Alin enteng.
Mendengar itu, Sonya mengusap wajahnya kesal. Entah
kesal dengan kenyataan bahwa Alin berusaha merampok harta pak Simon atau kesal karena
Alin sebelumnya meyakinkan Sonya bahwa cerita pak Simon itu tidak benar. Sial,
ternyata rekannya itu sendiri yang datang jauh-jauh kesini untuk mencuri.
“Kamu kesini karena cerita yang tadi aku ceritain di
mobil? Tentang Pak Simon?” Tanya Sonya sambil melangkah mendekat, membuat Alin
secara naluri melangkah mundur.
Yang ditanya menunduk, memberikan jeda yang cukup lama
untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, sebelum akhirnya mengangguk ragu,
disusul umpatan dari Sonya.
Alin langsung berlutut, menyatukan kedua telapak
tangannya seolah memohon, “sumpah Son, aku awalnya juga ga percaya, cerita tua
bangka itu emang ga masuk akal? Iya kan?” Sonya tidak merespon.
“Tapi tadi aku mampir buat beli bensin di persimpangan
perumahan, aku jadi mikir ga ada salahnya buat nyamperin rumah pak Simon. Jadi
aku jalan kaki ke sini.” Jelas Alin masih di posisi bersimpuh di depan Sonya.
“Terus langsung punya rencana buat ngerampok? Najis,
aku laporin kamu.”
Alin mengernyitkan alisnya, merasa disudutkan oleh
Sonya. Berakhir kembali berdiri dan langsung menampar keras pipi kiri Sonya,
membuat gadis itu kaget bukan main.
“Sadar Son! Emas sebanyak ini mau kamu anggurin? Aset
sebanyak ini juga bukan punya Pak Simon!”
Sonya balik berteriak, “Ya justru itu, karena ini duit
kotor, kalo kita ikutan nyentuh ga ada yang tau kita bisa keseret sampai sejauh
apa.”
“Halah,” tukas Alin lalu berpaling dan memilih untuk memungut
kembali batangan emas yang sempat ia kumpulkan tadi. “Kamu sendiri ke sini buat
apa kalo bukan buat uang? Basi banget kalo alasannya nyari Kala-Kala itu. Kamu
tau sendiri kalo Pak Simon ga ada wali lain selain anaknya, nama istrinya juga
bukan Kala. Munafik!”
Sonya terdiam, di dalam hati juga setuju dengan
tuduhan rekan kerjanya. Jika pak Simon tidak pernah bercerita soal bisnis
penggelapan uangnya, ia tidak akan ke rumah ini meskipun pasiennya itu memohon
untuk ‘diambilkan’ Kala-nya. Sonya juga mencoba peruntungan, seandainya
pak Simon tidak gila maka uang gelap yang masih dalam bentuk tahapan kedua itu
bisa ia miliki, dan sekarang terbukti. Pak Simon tidak gila dan juga artinya;
Kala itu nyata.
Sonya memperhatikan Alin yang dengan rakusnya
‘membungkus’ emas-emas itu di tas kainnya, kantong seragamnya, hingga
menyelipkannya di pakaian dalamnya. Gejolak batin terjadi di sana; Sonya
benar-benar akan terbantu dengan semua emas ini, namun di satu sisi ia merasa
semua ini terasa sangat janggal.
Sekalipun jika kesehatan pak Simon menurun tiba-tiba
hingga ia tidak bisa mengamankan pekerjaannya, tetapi dengan aset sebanyak ini
tidak mungkin bapak tua itu bekerja seorang diri. Ia pasti punya banyak
kaki-tangan yang bisa membenahi semua kekacauan pencucian uang ini. Namun
kenapa sekarang kenyataannya semua aset ini seperti ‘sengaja’ ditelantarkan, di
rumah kosong tanpa penjagaan, bahkan tidak dikunci. Semua emas tergeletak
seolah memanggil untuk diambil. Aneh, ini aneh.
Maka setelah lama menimang, tidak menunggu lama, detik
itu juga Sonya langsung melangkah kembali, meninggalkan Alin yang masih sibuk
memilih emasnya sambil terus meneriakkan nama Sonya; melarangnya untuk pergi.
Namun Sonya tidak tergiur sedikit pun. Sonya yakin di kemudian hari ia akan
menyesal karena tidak memanfaatkan keadaan sekarang. Tetapi di kemudian hari
Sonya juga bisa bersyukur karena tidak memanfaatkan keadaan ini. Sonya percaya
ke dirinya.
Lalu soal Kala, sepertinya Sonya tidak akan pernah
tahu.
___________
Sonya kembali ke rutinitas sehari-harinya, memomong
para tua itu agar tidak tersedak salivanya sendiri atau tidak membasahi diri
dengan air seni mereka sendiri. Namun kali ini, alih-alih jijik dan muak. Sonya
lebih merasa santai, tanpa sadar perempuan berumur 24 tahun itu lega;
mengetahui bahwa dirinya bisa kembali ke kehidupan normalnya setelah dua hari
dua malam dirinya dihantui soal rumah itu, soal emas, dan soal Alin.
Keduanya belum bertukar kabar sejak Sonya memutuskan
untuk meninggalkan rekannya sendirian di rumah itu yang berarti ini sudah
memasuki hari ketiga. Sonya berusaha tidak peduli, walaupun sejujurnya ia
sangat khawatir. Tapi mungkin setidaknya Alin akan mengabari Amor.
“Mor,” panggil Sonya namun Amor masih fokus dengan
siaran yang sedang ia tonton seolah tidak mendengar panggilan tadi.
Saat Sonya menyerah untuk mengalihkan atensi temannya
itu, tiba-tiba Amor berteriak, “Sonya!”
Membuat si pemilik nama terperanjat, “aku di
sampingmu! Kenapa harus teriak, sih?”
“Maaf-maaf, tapi sumpah liat ini,” ujarnya sambil mengoper
ponsel pintar yang sedari tadi ia genggam. “Kamu masih inget ga kasus
penggelapan 2 miliar dana sejahtera yang kemarin rame? Aparat kan lagi nyari
pihak yang jadi tempat suntikan dananya, kasusnya udah berbulan-bulan jalan
tapi belum aja ketemu siapa yang bertanggung jawab buat nyimpen duit sebanyak
itu. Terus ini barusan banget diinfoin kalo tangan kanan pejabat itu udah
ketemu.”
Sonya menatap bingung ke arah Amor, “…oke terus?
Urusannya sama kita apa?”
Amor menaikkan jari telunjuknya, mengisyaratkan Sonya
untuk menunggu, lalu melanjutkan siaran berita yang sedari tadi ia bicarakan.
Yang Sonya lihat setelahnya membuat jantungnya
berhenti berdenyut untuk sejenak, matanya membesar, tangannya bergetar hebat,
sebab seorang perempuan diduga sebagai tangan kanan yang bertugas untuk
menyimpan uang penggelapan adalah seorang perawat dari panti jompo tempat
mereka bekerja. Wajahnya tidak bisa dikenali karena perempuan tersebut
ditemukan tewas dengan wajah yang hancur akibat luka tembakan shotguns.
Yang bisa dikenali hanya seragam perempuan itu. Polisi tidak bisa mengidentifikasi,
bahkan Amor juga tidak sadar mayat siapa yang sedari tadi ia bahas. Hanya satu
orang yang mengenal siapa mayat mengenaskan itu, hanya satu orang yang tahu
kebenarannya.
“Sonya!” Panggil Amor sambil menepuk bahu rekannya,
“kok diem aja sih? Ini berita besar tau? Siapa coba, rekan kerja kita yang
punya kemungkinan jadi kaki tangan pejabat itu?”
Sonya masih geming, lalu sesaat kemudian langsung
berlari ke bangsal pasien tak menghiraukan panggilan Amor yang menanyakan
alasan sikapnya.
Saat ini dipikiran perempuan itu hanya satu, pak
Simon.
Pintu kamar bapak tua itu dia buka paksa,
memperlihatkan penghuni di dalamnya yang sedang menyesap teh hangatnya di atas
kursi roda sambil menyisir suasana taman pagi dari jendela kamarnya.
Sonya belum menyiapkan sarapan apapun untuk pak Simon,
selama ini bapak tua itu bahkan tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya tanpa
bantuan orang lain dan sekarang tiba-tiba bisa membuat teh? Ada yang tidak
beres.
Belum sempat Sonya buka suara, pak Simon sudah
mendahului, “Sonya! Bagaimana akhir pekanmu? Menyenangkan?”
Jantung Sonya berdebar hebat; cara duduk, cara ia
memegang gelas, cara ia berbicara, semuanya jauh dari pak Simon yang selama ini
ia kenal.
“PEJABAT YANG SEDANG TERJERAT KASUS ITU KLIEN BAPAK
KAN? ALIN YANG BAPAK JADIKAN KAMBING HITAM KAN? KEPARAT!” Cecar Sonya sambil
berteriak, namun respon yang diteriaki hanya duduk terdiam sambil menutup
telinganya seolah suara Sonya tadi memekakkan pendengarannya.
Sonya terduduk lemas, tangisnya lepas sejadi-jadinya,
“kenapa harus kami?” Tanya Sonya dengan suara lirih. “Selama ini yang kami
lakukan hanya terus menerus merawat bapak dengan baik.”
Pak Simon tersenyum sinis, “oh ya? Saya tidak pernah melibatkan temanmu ke
permasalahan ini. Semua skema direncanakan hanya untukmu Sonya, kamu seorang,”
jawab pak Simon dingin.
Tangis Sonya berhenti, dirinya makin tak kuasa
berbicara.
“Kenapa kamu? Entahlah, saya hanya benci melihat
ketidaktulusanmu merawat pasien yang sebenarnya memberimu uang untuk bertahan
hidup,” lanjut pak Simon sambil mendorong roda kursinya mendekati Sonya yang
sedang terduduk dengan tatapan kosong. “Jadi saya rasa akan baik jika kamu
menjalankan tahapan ketiga. Bukan untuk mengubah emas menjadi mata uang kertas,
tapi untuk menjadikanmu pihak yang disalahkan.”
Kepala Sonya pening, lidahnya kelu, ia bahkan tidak
berani mendongak menatap lansia yang selama delapan bulan ini ia rawat.
“Tapi apa boleh buat, temanmu yang memakan umpan itu.
Toh tidak ada bedanya mau itu kamu atau dia, keduanya bisa memperlancar bisnis
saya.”
Buku jari Sonya memutih akibat ia mengepal tangannya
untuk menahan amarah. Ia frustasi, berang, sedih. Sonya bermonolog dengan diri
sendiri, jika hari itu ia tidak menceritakan hal itu dengan Alin maka temannya
itu tidak akan menjadi korban kebengisan pak Simon seperti sekarang.
Suara Sonya bergetar, “lalu kenapa Alin harus mati?”
“Kamu ini bodoh atau lambat? Tentu saja karena temanmu
itu sudah mengetahui informasi kami terlalu jauh. Jika tidak dibungkam, maka
mulutnya akan terbuka di hadapan polisi. Lagi pula jika tidak kami bunuh, dia
juga akan segara menjadi buronan polisi,” pak Simon menjeda. “Temanmu itu
idiot, ia menukarkan setengah kilogram emas sekaligus, tentu saja polisi akan
langsung melacaknya.”
Sonya lagi-lagi hanya diam, ia kehabisan kata-kata,
semuanya terasa tidak nyata, semua terjadi telalu cepat hingga otaknya tidak
bisa memproses. Apa yang Sonya dan Alin lakukan hingga dirasa pantas untuk
mendapat siksaan seperti ini.
Pak Simon tak diduga-duga berangkat dari kursi
rodanya, ia berdiri kuat dengan kedua kakinya padahal selama ini ia didiagnosis
mengalami osteoarthritis yang membuat sendi kakinya tidak kuat menompang massa
tubuhnya. Namun sekarang bapak itu berjalan dengan enteng berjongkok di samping
Sonya sambil membisikkan,
“-dan jika kamu juga ga bisa tutup mulut. Siap-siap
menjadi Kala selanjutnya.” Mata Sonya bergetar, tak yakin dari apa yang
dimaksud pak Simon, sebelum bapak tua itu melanjutkan ancamannya. “Kamu ingat
yang saya ceritakan soal pertemuan pertama saya dengan Kala?” Sonya diam saja
menatap pak Simon dengan takut namun bengis.
“Iya, saya bertemu Kala saat menjalankan bisnis
prostusi atau lebih tepatnya saya membunuh manusia pertama kali saat menjalani
bisnis tersebut. Makanya selama delapan bulan ini saya rindu untuk bertemu
Kala. Kematian.”
Sonya merangkak mundur, menyadari selama ini terbodohi
dan sedari awal sudah masuk ke skenario kejam pak Simon.
“Kamu gadis yang cerdas. Padahal saya berencana
menjadikanmu Kala-ku. Tapi dengan cerdiknya kamu mendorong temanmu untuk
menjadi Kala. Hebat Sonya.”
Pak Simon berjalan keluar kamar bersamaan dengan
anaknya yang selama ini tidak pernah ada kehadirannya, kini datang menjemput
menarik semua berkas pasien dan membawa pak Simon kembali ke rumah.
Sonya tidak bisa berbuat apa-apa, melihat otak dari
serangkaian kejahatan ini melenggang bebas tanpa bisa diadili. Ia bahkan tidak
bisa mengamuk atau melempari pak Simon dengan batu. Sonya dipaksa untuk diam,
menghantarkan pasiennya ke pintu keluar seolah itu perpisahan yang mengharukan.
“Sampai bertemu di pemakaman.”
Dan pak Simon melaju, meninggalkan semua rasa bersalah
untuk Sonya tanggung sendiri.
Komentar
Posting Komentar