TAHAPAN KETIGA

 

Tahapan Ketiga

Karya : Hana Janatan

 

Telinga perempuan itu pengang. Rasanya ingin membekap mulut para lansia itu agar berhenti berceloteh tentang hal yang sama berulang kali. 

Iya, memang jahat. Sonya sudah bekerja di panti jompo selama empat tahun, namun dirinya tidak pernah mencintai apa yang harus ia lakukan. Menyuapi makanan, memberi obat, membantu mereka tidur, dan yang paling Sonya benci adalah saat ia terpaksa membersihkan kotoran tiap harinya. Menyesakkan, membuat Sonya berjanji kepada dirinya sendiri; pada ulang tahunnya yang ke 60, ia akan menggantung lehernya atau melompat dari atas tebing agar bisa beristirahat dengan tenang tanpa harus menua dan menyusahkan orang-orang.

Ada perasaan aneh di perutnya setiap kali ia masuk kerja dan kembali melihat para individu lemah, tidak berdaya, namun tak ingin dibantu, selalu melempar tantrum layaknya balita lima tahun.

Tidak ada yang tersisa bagi kebanyakan dari mereka. Tidak ada anak yang mengunjungi mereka dengan perasaan khawatir atau bahagia, tentu saja, hampir semua lansia di sini seolah “dibuang” oleh keluarga yang menolak untuk merawat orang tua mereka sendiri. Jauh dari kunjungan, terkadang beberapa wali bahkan berhenti mengirim uang operasional.

Terlebih separuh dari mereka mengidap demensia. Membuat mereka lupa tentang dunia, keluarga, bahkan sekadar makan pun mereka lupakan. Seperti yang terjadi pada pak Simon. Hari ini sudah keenam kalinya pria tua itu meminta untuk diberi makan siang, padahal langit sudah mulai menggelap dan dirinya sendiri sudah makan tiga porsi makannya hari ini.

"Nanti 10 menit lagi, Pak Simon makan malam, sekarang Bapak minum obat dulu, ya," jawab Sonya selembut mungkin sambil menyodorkan pil dan segelas air.

Pak Simon menggeleng, "tapi aku belum makan siang."

"Bapak udah makan tadi," Sonya berusaha tersenyum. "Setelah bapak minum obat nanti baru makan, oke?"

Pak Simon mengangguk dengan inosen, meraih pil dari telapak tangan Sonya dan menelannya kesusahan.

"Terima kasih, Kala," ujar Pak Simon.

Kala itu istrinya, namun Sonya sudah lelah mencoba mengoreksi bapak tua itu agar memanggilnya dengan nama yang benar. Maka kali ini Sonya hanya mendengus jengkel dan beranjak dari tempatnya.

Namun pak Simon seolah menolak membiarkan Sonya melenggang. Ia mengamit lengan perawat muda itu, membuat Sonya kaget bukan main.

 

"Kamu benar Kala?" tanya pak Simon mendongak dari kursi rodanya, menatap lamat ke arah Sonya, membuat perempuan itu reflek menepis genggaman tangan gemuk itu.

"Bukan! Sudah berapa kali saya bilang, saya Sonya, perawat di sini, bukan Kala!" Jawabnya dengan nada tinggi.

Sonya tidak bisa mentolerir kontak fisik, ia sendiri sudah benci untuk berdekatan dengan tua bangka ini, apalagi disentuh.

"Kamu mirip istriku, Kala, sudah kamu laksanakan apa yang aku suruh?"

Mengernyitkan dahi sinis, Sonya tak menghiraukan lagi ucapan pak Simon dan langsung berlari menjauh.

"Tua bangka sialan," umpat Sonya sesampainya di dapur, menarik atensi rekan-rekannya yang lain.

"Ada apa?" tanya Alin seadanya, sambil terus mengisi celah nampan dengan makanan.

Sonya menghela napas kasar, "si Simon itu makin hari makin aneh, masa tadi tiba-tiba narik tangan aku?"

"Naksir kali ama kamu, udah berapa kali aja kamu dikira istrinya," timpal Alin membuat tawa yang lain membuncah.

Memang bukan pertama kalinya, Sonya mendatangi dapur dengan wajah ditekuk seperti ini. Pemicunya selalu pak Simon dan rekan perawatnya selalu menertawakan.

Sonya menggaruk kepalanya kasar, "duh males banget harus nyuapin dia makan malam, mau gantiin ga mor?"

Amor yang ditanya langsung menggeleng, "ngapain? bukan shift aku juga," jawabnya tanpa memalingkan pandangan dari siaran berita penyelewengan dana sejahtera yang sedari tadi ia tonton.

"Udah sih, Son, namanya juga udah bau tanah, demensia pula," ucap Alin sambil menyodorkan nampan makanan. "Maklumin aja, oke?"

________

Bubur di mangkok masih setengah, tapi pak Simon mencoba menolak untuk melanjutkan makannya. Pria dengan rambut yang hampir putih merata itu malah kembali menceritakan kisah hidupnya yang entah sudah berapa kali Sonya dengar.

"Aku dulu bekerja di bawah mafia, di sanalah aku bertemu Kala."

Sonya memutar mata malas, "oh? jadi Kala anak bos bapak?" tanya Sonya dengan nada sarkas.

"Bukan," jawab pak Simon, bubur kembali disuap ke mulut. "Kala salah satu pekerja di bisnis prostitusi kami."

 

Sonya tertegun, namun sedetik kemudian ia baru ingat bahwa minggu kemarin bapak tua ini bilang bahwa ia bertemu Kala di perkuliahan. Ceritanya selalu berubah-ubah. Maka bibir Sonya hanya membentuk 'O' lalu kembali menyuapi pak Simon.

"Selain prostitusi kami juga mengurus money laundry para pejabat," lanjut pak Simon sambil mengunyah.

Sonya mengangguk seolah mendengarkan, "bagaimana skemanya?"

"Penggelapan masuk ke rekening kami lewat bank luar negeri, kami convert menjadi emas, dan saat emas dijual dengan jumlah sedikit," pak Simon menjeda, "hasil jual akan langsung jadi clean money."

Mata Sonya terbelalak, penjelasan pak Simon cukup mengagetkan, seolah apa yang ia ceritakan benar-benar bapak tua itu alami.

Pak Simon melanjutkan, "sebelum masuk ke sini, aku hampir menyelesaikan bisnis terakhir."

"Bisnis?" jawab Sonya sekenanya namun sebenarnya sedikit penasaran.

"Iya, pencucian uang. Aku sudah ada di tahap kedua, namun semuanya tertunda saat klien kami dijadikan tersangka."

Bubur di mangkok ludes tak bersisa, Sonya menghela napas dan beranjak dari duduknya sebelum akhirnya mendorong kursi roda yang diduduki pak Simon agar pria itu kembali ke kamarnya.

"Oke Pak Simon, ceritanya kita lanjutin besok ya, sekarang sudah waktunya istirahat," perintah Sonya sambil terus mendorong. "Silahkan pikirin lagi alur ceritanya, karena jujur saja, saya penasaran."

Pak Simon hanya diam saja, patuh untuk tidur. Sonya membereskan alat makan, berniat untuk melenggang sebelum namanya kembali dipanggil.

"Sonya?"

Sonya heran, ini pertama kalinya pak Simon memanggilnya dengan benar. Ia berbalik, berusaha mengetahui apa yang pak Simon butuhkan darinya.

"Iya, Pak?"

Pak Simon menyerahkan secarik kertas berisi alamat, "bawa Kala dari sana, kembalikan ia padaku. Ini tahapan ketiga"

_____

 

"Sama. Tadi Bu Winar juga cerita kalau anaknya keturunan Albert Einstein, gimana bisa anaknya punya darah Einstein, padahal dia nikah sama orang Kalimantan keturunan Jawa?" Jelas Alin menambahkan cerita gila untuk melengkapi Sonya yang barusan menceritakan keanehan pak Simon.

Sonya terbahak, hingga kursi mobil yang sedang ia duduki berguncang. Sonya baru sadar bahwa mempercayai para pasiennya adalah hal yang tidak pernah boleh ia lakukan. Para lansia ini berbohong setiap saat, lalu melupakan kebohongannya, begitu terus hingga mereka bahkan tak punya tenaga untuk mengeluarkan suara.

"Ah, bener sih, cerita Pak Simon juga mau dilihat dari sisi manapun, tetep aja gila dan terlalu liar," timpal Sonya masih dengan latar belakang Alin yang terkikik geli. "Tapi menurut kamu, aku tetep harus ke rumahnya ga?"

Alin berdecak, "ga usah terlalu dipikirin," ucap Alin sambil memutar setirnya berusaha menepi di halte bus. "Pak Simon tuh ngawur, jelas-jelas di catatan riwayat pasien, istrinya udah lama meninggal. Selama 10 tahun terakhir dia kan tinggal berdua doang sama anaknya. Kamu tau kan anaknya sendiri udah lama ga berkunjung?"

Sonya mengangguk bersamaan dengan mobil yang sudah total berhenti, "tapi soal pekerjaan?"

"Seingatku dia dulu menjual apel. Distributor besar, sekarang diwarisin ke anaknya."

Sonya menghela napas lega, lalu beranjak keluar dari mobil dan mengucapkan beberapa kata perpisahan kepada temannya.

Alin melesat bersamaan dengan mobilnya yang menjauh, meninggalkan Sonya yang sekarang duduk di bangku besi dingin menunggu busnya untuk datang.

"Wallstrit, nomor 13, jalan merah," gumam Sonya sambil melipat kembali secarik kertas yang sebelumnya pak Simon berikan.

Sonya menimang keputusannya untuk mencari rumah pak Simon atau tidak. Jika harus jujur, sebenarnya ia ada harapan untuk bisa mendapat tanda “terima kasih” dari keluarga kaya itu yang bisa dipakai untuk ia bersenang-senang selama satu bulan ke depan. Meskipun kemungkinannya kecil, namun tidak menutup kemungkinan kalau anak pak Simon sengaja untuk tidak membiarkan ibunya untuk berkunjung ke panti.

Singkatnya, Sonya hanya butuh uang.

Saat logika dan egonya saling berdebat, bus yang sedari tadi ia tunggu tiba-tiba datang, namun alih-alih kembali ke kontrakannya, Sonya menyerahkan sesuatu ke supir bus.

"Rute busnya lewat perumahan ini ga Pak?"

 

______

 

Rambutnya ia acak-acak frustasi, hingga sanggul yang semula rapi kini tak beraturan bentuknya. Di depannya sudah ada pagar tinggi dengan rumah yang total gelap, tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Sonya menampar dirinya sendiri, "apa yang aku pikirkan?! Kenapa aku ke sini?"

Rumah paling ujung nomor 13 yang dipenuhi tumbuhan liar, sepertinya benar, ini rumah pak Simon. Awalnya Sonya hanya ingin bersinggah untuk mencari Kala yang selama ini pak Simon singgung. Namun melihat keadaan rumah yang tak terurus, Sonya semakin yakin ucapan pak Simon hanya omong kosong.

Saat Sonya mantap untuk pergi dari sana, tiba-tiba saja salah satu lampu di ruangan lantai atas rumah itu menyala. Sonya melihat ada siluet yang bergerak pertanda ada seseorang di rumah itu.

“Kala?” Gumam Sonya.

Kakinya ia paksa untuk masuk pekarangan rumah dan tak lama dari itu ia mendapati dirinya sudah berdiri di depan pintu masuk yang terlihat sudah sedikit terbuka. Sonya semakin yakin bahwa ada seseorang di dalam sana.

Perlahan ia masuk, Sonya menjelajah seisi rumah untuk menemukan apapun yang bisa membuktikan bahwa rumah ini tidak kosong. Sonya mendengar suara seperti benda berat yang saling bertabrakan, namun bersamaan saat kakinya tak sengaja tersandung anak tangga, suara dentingan tadi pun berhenti. Rumah kembali sunyi.

“Kala?” Panggil Sonya memastikan, tapi nihil, tidak ada jawaban.

Satu anak tangga, dua anak tangga, hingga sampai ke anak tangga terakhir.

Sonya melangkah tanpa suara, mendekati ruangan yang ternyata memang benar lampunya menyala.

Takut dianggap tak sopan, Sonya kembali memanggil nama ‘Kala’, menelan salivanya berat karena rasa cemasnya yang membuncah di dada. Namun tidak ada kata kembali jika sudah sejauh ini.

Dibukanya pintu kayu ulin itu dan apa yang ia lihat selanjutnya membuat jantungnya untuk sedetik berhenti berdenyut. Dalam ruangan itu penuh emas batangan yang bertumpuk di atas semua interior. Namun yang paling membuatnya kaget setengah mati bukan hanya emas, tetapi sosok yang sedang bersembunyi di belakang meja dengan beberapa emas batang yang ia dekap.

“Alin?!”

_______

Komentar

Postingan Populer