STRANGER'S SERENADE
Stranger's
Serenade
Penulis : Hana Janatan
"Kau
genius, Owen! Ini benar-benar mirip denganku. Terima kasih."
Yang
dipuji tersipu, lanjut menerima bayaran yang setimpal untuk hasil kerjanya yang
memuaskan.
Owen,
seorang mantan pelukis art galery mengalami kecelakaan lima tahun silam.
Kecelakaan itu membuatnya kehilangan pengelihatan sekaligus pekerjaannya
sebagai pelukis potrait realisme. Alhasil ia berakhir di jalanan, menerima
bayaran murah untuk melukiskan turis-turis yang berkunjung ke tempat wisata di
sekitar rumahnya.
Benar,
Owen masih bisa melukis,
namun dengan bantuan pendengarannya. Ia harus mendengar dekripsi lengkap dari
objek yang akan dia lukis. Owen malah
terkenal dengan keahliannya yang tidak pernah salah dalam mengonversi gambaran
lisan ke goresan lukisan. Kebanyakan orang
meminta untuk dilukiskan potrait diri, hewan peliharaan atau orang-orang
tersayang yang sudah tidak lagi menginjak tanah dunia ini.
Termasuk
wanita yang saat ini datang ke hadapan Owen.
"Bisakah
kau melukiskan Ibuku? Aku tidak ingat wajahnya, karena ia meninggal saat aku
masih kecil. Tapi aku bisa mendeskripsikannya lewat foto yang kupunya."
Owen
tersenyum sambil mempersiapkan alat lukisnya, "tentu saja, dengan senang
hati akan kulukis perempuan hebat itu."
"Apa
deskripsinya harus dijelaskan dengan sangat detail?"
"Ah,
dari ulasan orang-orang, lukisanku akan tergambar dengan lebih baik saat mereka
bercerita." Owen mengayunkan kuasnya ke udara, lalu melanjutkan,
"alih-alih mendeskripsikan dari cetakan gambar, cobalah untuk menceritakan
Ibumu dari apa yang pernah kau dengar tentang dirinya."
Gadis
itu mengangguk dan mulai membagikan kisahnya.
Ibunya
meninggal saat ia baru menginjak usia tiga tahun. Menurut dari apa yang ia
dengar dari ayah, wajah ibunya memiliki bentuk oval yang lembut, dengan tulang
pipi yang sedikit menonjol memberikan sentuhan elegan pada penampilannya.
Matanya berbentuk
almond menawan dengan kedalaman warna biru yang seperti samudra.
Hidungnya
proporsional dan bibirnya sedikit penuh, namun tetap anggun. Sang ibu tidak
pandai dalam tersenyum atau lebih tepatnya ibu tidak merasa cantik saat
tersenyum. Sehingga menurut ayahnya, ibu jarang tersenyum saat masih hidup.
Kulitnya
pucat membuat bintik-bintik frekel di wajahnya tampak dengan jelas. Tubuh ibunya sedikit berisi dengan tinggi
sekitar lima kaki. Rambut ibu ikal dengan warna auburn yang gelap.
"Ibuku
sempat koma setelah melahirkanku. Sehingga aku diasuh oleh Ayah dibantu oleh saudari perempuan Ibuku atau biasa kupanggil Tita. Ya,
kira-kira begitulah sosok Ibu yang kudengar dari Ayah," ucap gadis itu
menyelesaikan ceritanya.
"Kalau
aku boleh tahu, apa yang terjadi dengan Ibumu?" Tanya Owen sambil terus
menggores kanvas dengan kuasnya yang berwarna.
Perempuan
itu menghela napas, "Ibu mengakhiri hidupnya sendiri. Menurut Ayah itu
terjadi karena kekecewaan mendalam yang Ibu rasakan."
"Kekecewaan?"
"Entahlah
Ayah tidak pernah menjelaskannya secara gamblang dan aku juga tidak sampai hati
untuk membuka luka lamanya," perempuan itu menjeda. "Tapi sebelum
meninggal Ibu sempat meninggalkan surat."
"Semacam
wasiat?"
"Bukan,"
gelengnya. "Isinya seperti ungkapan rasa kecewa Ibu terhadap
seseorang."
"Bukan
ayahmu?"
"Bukan,
isinya seperti 'Aku memutuskan untuk berhenti menjadi bayangmu, rumah ini, pria
itu, gadis kecil itu bahkan tidak pernah menjadi milikku seorang. Kuharap
kematianku bisa membuatmu puas."
Owen
tertegun, ikut merasakan sesak mendengar kalimat yang perempuan itu ucapkan
dari ingatannya soal surat kematian sang Ibu.
Mungkin
itu perselingkuhan, monolog Owen. Tentu saja ia ucapkan di pikirannya sendiri,
tak bermaksud untuk mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
Lalu
10 menit terakhir, Owen habiskan dengan diam sambil berusaha menyelesaikan
lukisannya. Perempuan itu juga berkata tidak ada lagi informasi yang bisa ia
bagikan yang bisa membuat penggambaran Ibunya menjadi lebih jelas.
"Baiklah,"
goresan terakhir diberikan. "Selesai, silahkan kau lihat.”
Owen
membalikkan kanvasnya agar menghadap perempuan itu. Sedikit mengharapkan
komentar, namun Owen tidak mendengar apapun dari sang pelanggan.
"Apa
lukisannya tidak seperti yang kau harapkan?" Tanya Owen berhati-hati.
"Tidak,
maksudku, Iya," perempuan itu meninggikan suaranya. "Owen, apa
ini?!"
Owen
kebingungan, ini pertama kalinya ada yang protes dengan hasil kerjanya.
"Apa
lagi? Aku melukis Ibumu dari cerita yang kau dengar dari Ayahmu, kan?"
Perempuan
itu mendengus, "omong kosong!"
"Apa
maksudmu? Tolong ingat aku tidak bisa melihat, jangan membuatku bingung."
"Perempuan
yang kamu lukis itu bukan Ibuku yang selama ini kulihat di foto," isak
gadis itu terdengar.
"Lalu
siapa yang kulukis?"
"Itu
jelas-jelas lukisan saudari Ibuku. Tita!"
Komentar
Posting Komentar