3 MENIT

 

3 Menit

Penulis : Hana Janatan S

"Lima menit!"

Ibuku dengan cepat menyanggah, tak setuju dengan tantangan yang diajukan ayah. Terlalu mudah katanya.

"Tiga menit, gimana? Kalo lima menit mah, Ibu juga jago, tau."

"Tsk, ya udah tiga menit ya," jawab ayah keki. "Tapi hadiahnya tambahin dong, masa cuma dapet kaos kaki?"

Pertanyaan ayah membuatku ikut penasaran, lanjut memaksa ibu menambahkan hadiah dari rombakan tantangan.

Ibu hanya tertawa bungah, hingga matanya menyipit. Sesenang itu rupanya, melihat dua laki-laki yang paling ia sayang satu semesta; bercicit, persis burung.

"Oke, oke, ditambahin," mendengar itu, langsung saja aku dan ayah memasang telinga. "Selain dapet rajutan kaos kaki, kalo Ayah berhasil selesaiin rubiknya dalam tiga menit, Ibuuu bakalll masakkk cumiiii!"

 

Manik mataku berbinar, pupil membesar, tanda bahwa hal yang kudengar barusan benar-benar jauh, sungguh, sangat, lebih baik dari apa yang aku harapkan.

 

Jangan heran, cumi kecap—makanan kesukaanku dan ayah, terutama jika ibu yang memasaknya. Kalau boleh jujur, masakan ibu tidak seenak itu kok, tidak sampai membuat orang yang menyantap ketagihan. Rasanya biasa. Tapi karena kami hanya bisa makan cumi satu kali dalam setahun, maka momen seperti ini terdengar seperti anomali.

Biasanya ibu masak cumi saat hari raya, itu pun hasil menabung dari uang yang ayah beri setiap minggu. Ayah penjual kerak telur, mencoba menghidupi istri, anak, dan kedua orang tuanya di ibu kota. Entahlah bagaimana, tapi kami masih bisa bertahan hidup.

Tidak perlu iba. Serius. Keluargaku jarang mengeluh soal keadaan. Ya, paling, kalo ayah diusir Satpol PP saat berjualan, barulah mengeluh. Selebihnya? Lihat saja, ayah dan ibuku bahkan sengaja meluangkan satu hari untuk bisa liburan di taman denganku. Meskipun hanya duduk menikmati angin, tapi bagi anak 12 tahun sepertiku, sangat berkesan.

"Kak, denger kata Ibu? Dimasakin cumi, loh, kita?!" Ujar ayah sambil mengguncang tubuhku.

"Ayah jangan sampe gagal! Kakak mau makan cumi!" Timpalku.

Ayah hanya mengangguk, mengusak rambutku gemas. Ibu memberi aba-aba untuk memulai, sedetik kemudian ayah sudah sibuk mengotak-atik kubus warna warni itu hingga warnanya perlahan mulai tersusun.

 

Di mataku, ayah terlihat sangat keren.

Aku dan ibu menyemangati. Sebelum akhirnya tiga menit hampir habis dan ibu mulai menghitung mundur.

 

"Tiga..."

 

Jantungku berdegup.

 

"Dua..."

 

Ah, warna merah dan hijau belum tersusun.

 

"Satu..."

 

Gelap. Semuanya seketika gelap.

 

Kepalaku terasa nyeri dan pening tak tertahan. Telingaku berdengung, nyaring sekali. Aku berusaha membuka mata, sambil mencoba mengurutkan kejadian. Ayah menyusun rubik, ibu menghitung mundur, kemudian ada dentuman keras dan aku terpental(?)

Pandanganku kabur, namun kupaksakan bangun. Kusapu pandanganku ke sekeliling. Taman yang semula sepi, kini ramai dengan orang-orang yang panik kesana kemari. Di seberang ada gerombolan besar, seperti burung gagak yang sedang mengelilingi bangkai. Lalu perlahan perhatian beberapa di antara mereka teralihkan padaku. Ada apa sebenarnya?

"Anaknya selamat! Panggil ambulans!" Teriak seorang bapak dengan rompi hijau neon.

Aku dibantu berdiri, hingga terlihatlah apa yang digeromboli sedari tadi. Di sana, mobil silver rusak parah dengan pohon Angsana— yang aku ingat sekali, tadi masih ibuku senderi—namun sekarang luluhlantak. Di sekitarnya tersebar cairan merah. Kakiku lemas, pandanganku nanar, terlebih saat makula mata menangkap tangan yang amat sangat kukenal, di bawah rongsokan mobil masih memegang kubus rubik yang belum selesai tersusun.

 

Hanya tangan tanpa badan.

 

————

 

"Tahanan 032 diberi waktu tiga menit didampingi rohaniawan."

Mandat kuterima dengan baik. Kuikuti langkah seorang yang terlihat agamis di depanku, kemudian ia memberiku gestur untuk duduk. Lagi, aku mengikuti saja.

Aku menunduk, menatap pergelangan tanganku yang tertiup angin. Ah rasanya sejuk sekaligus aneh. Selama 10 tahun terakhir, saat aku dan rekan oranye yang lain di bawa ke luar ruangan bebas; di bawah langit, di atas tanah basah, tangan ini selalu dikokong besi mengilat.

 

Tapi hari ini, kondisiku jauh dari kata terbelenggu. Naifnya, untuk sekejap aku merasa, bebas.

 

"Selama mendekam dibalik jeruji, apa saudara pernah menyesal?" Tanya pria itu membuka suara.

 

Aku tersenyum kecil, memainkan jermariku. "Saya merencanakan pembunuhan selama 21 tahun loh? Di umur 18 alih-alih kuliah, saya memilih terjun menjadi supir logistik."

Rohaniawan itu mengalihkan tatapannya, enggan melihatku. Seolah tahu hendak kubawa ke mana percakapan ini.

"Apa saya memilih bekerja di usia muda semata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Tidak. Tentu saja tidak," aku menjeda sambil mengubah arah dudukku yang semula menghadap ke lapangan bebas, kini mengarah tepat ke rohaniawan itu.

"Saya sengaja menjadi supir, saya pikirkan matang-matang sejak kejadian itu. Hari di mana kedua orang tua saya secara mengenaskan tewas dan hukum bobrok merasa adil dengan tidak memenjarakan pengemudi tolol yang mabuk di siang bolong, kemudian hanya menghargai nyawa kedua orang tua saya sebesar empat juta rupiah," aku menjeda sambil tertawa. "Harga tanah kuburan di tahun itu saja 1,5 juta per kavling, maksudnya orang tua saya mau ditumpuk di satu liang kubur, gitu?"

Pria necis dengan jas hitam itu tak menjawab, mengulum bibirnya tak berkutik.

"Saya tau tugas Anda di sini untuk memberikan saya ketenangan, merenungi kesalahan saya. Tapi, tidak. Jawabannya tidak. Sedikit pun saya tidak pernah menyesal sudah menabrak satu keluarga hingga semua tewas di tempat. Mata dibalas mata."

Tiga menit selesai, dua petugas datang membawaku ke lapangan, lalu mengikatku ke pilar kayu. Dilanjutkan dengan ahli kesehatan yang mendekat lalu memberi tanda hitam di bajuku, tepat di bagian jantung.

Mataku bergetar melihat belasan petugas dengan senapannya berbaris di depanku. Napasku berhembus tak teratur saat penglihatanku gelap ditutupi kain hitam.

Mungkin satu hal, satu hal yang kusesali; Seharusnya hari itu, aku tidak merengek untuk pergi ke taman.

 

 

"Lapor! Pelaksanaan pidana mati, siap!"

Seharusnya kami duduk manis di rumah, menghibur diri dari tayangan kaset bajakan. Tiga menit itu, merenggut semuanya.

 

"Laksanakan!"

 

Atau seharusnya, kami tidak terlahir di tanah pertiwi ini.

Komentar

Postingan Populer