PERSEMBAHAN | BAG TERAKHIR

 

Persembahan

Penulis: Irhan Aja

 

Bagian Terakhir

 

Segera aku bangun dari tempat tidur, dan langsung menuju ke ruang tamu, dari tempat ku berdiri aku melihat seorang wanita yang mungkin usianya sama seperti ibuku, wanita itu berparas cantik dengan raut muka menggambarkan ketabahan dan ketenangan.

"Buu..."

"Iya, oh nak Nissa ya?". Jawab wanita itu lembut sambil tersenyum hangat kearahku. Senyumnya itu justru membuatku mengingat Yusuf, kenapa aku jadi malah mengingat Yusuf. Wajar saja jika senyum wanita itu mirip Yusuf, jika wanita ini Ibu nya yudi berarti dia juga Ibu nya Yusuf.

"Iya bu, saya Nissa". Aku memperkenalkan diri kepada wanita tersebut sambil meraih tangannya untuk bersaliman dan kemudian duduk di samping wanita tersebut.

"Nisa buatkan Teh iya bu"

"Ngak usah nak, ibu cuma sebentar kok, sebenarnya ibu ingin menyampaikan permintaan Yudi dan memberikan ini kepada Nisa". Tolak ibu yudi sambil menyerahkan sebuah buku catatan yang sedikit lusuh, yang ku yakini buku itu milik Yudi.

"Buku apa ini bu?"

"Ini bukunya Yudi sekaligus Yusuf nak"

"Yusuf bu?".

"Iya nak, kalau begitu ibu pamit dulu ya, jika Nisa ada waktu tolong sempatkan untuk membaca buku itu ya anak, karna buku itu milik Yudi”.  

"Maaf Bu sebenarnya buku ini milik siapa?"

“Nanti kamu akan tahu sendiri nak, kamu anak baik, terimakasih sudah mau berteman dengan anak Ibu, ya sudah kalau begitu Ibu pamit ya, Ibu tidak bisa berlama – lama karna masih ada urusan”.

“Baik Bu, kalau begitu terimakasih dan hati – hati di jalan, dan tolong  sampaikan salamku untuk Yudi ya Bu, suruh dia membalas pesan ku hehe”. Aku menitipkan salam kepada ibu Yudi, berharap setelah salam itu tersampaikan Yudi akan membalas pesanku.

Ibu Yudi hanya tersenyum lalu melangkah pergi. Aku mengantarnya hanya sampai pintu saja, aku melihat Ibu Yudi yang berjalan menuju mobilnya, terlihat Ibu Yudi menyeka air mata dari belakang, yang membuatku semakin bingung dengan situasi yang ku alami sekarang, kenapa ibu Yudi tiba – tiba kerumah dan mengantarkan buku ini? Kenapa tidak Yudi saja yang memberikannya pada ku.

“kenapa nak?”. Tanya Ibuku yang melihatku bingung didepan pintu.

“oh, nggak  apa-apa Bu, Nisa ke Kamar dulu ya bu”,

“ya sudah sana”

Aku langsung berlari menuju kamar ku dan menutup pintu dengan rapat, aku ingin membaca buku ini dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, kenapa perasaanku sedikit tidak enak.

 

 

Hembusan angin sore yang begitu sejuk, berhembus dengan lembut, menyentuh Daun yang telah menua, begitu pun dengan daun yang masih hijau terlihat segar namun belum tentu ia mampu bertahan dari tiupan angin yang menghempas, teringat kenangan indah bersama Yusuf yang gemar sekali menemai sore ku di saat kesendirian menerpa keseharian dari gadis dewasa yang penuh emosi, di sore ini aku masih di temani oleh kedua orang tersebut namun kali ini di tempat yang berbeda, di rumah yang sesungguhnya bagi setiap manusia yang telah pergi, orang yang selalu menghibur ku di saat sedih, jengkel bahkan mereka sering kali memancing amarah ku, kini mereka telah berjodoh dengan sesuatu yang pasti akan menjemput setiap manusia yang bernapas.

“Hai, apa kabar?”. Sapa ku tersenyum pada sebuah gundukan tanah merah yang ada di hadapanku.  Hemm bodoh sekali aku berbicara pada sebuah gundukan tanah dan berharap dia akan menjawab pertanyaanku.

“aku merindukanmu, sungguh”. Ucapku dengan air mata yang sudah tidak bisa tertahan lagi.

“kau memang mengjengkelkan, pergi tanpa berpamitan, benar – benar membuatku emosi saja”. Sambil tertawa getir, ku taburkan bunga di atas makam tersebut.

“Yusuf, sore ini aku datang untuk berpamitan, aku akan pindah kampus keluar kota, jujur aku merasa tidak sanggup berada di kampus yang sama, aku selalu teringat padamu jika datang ke kampus dan aku akan semakin merasa bersalah atas sikapku selama ini kepadamu”. Sungguh air mataku sudah benar – benar tidak  bisa dikendalikan.

“jika kau bisa melihat dan mendengarku dari alam sana, tolong maafkan aku yusuf, aku menyesal dan sekarang aku sadar bahwa kehadiranmu sangat ku butuh kan dalam hidupku. Tolong berbahagialah di alam sana, ditempat yang orang – orang sering bilang bahwa disana sangat indah, aku akan melanjutkan kehidupanku, terimakasih sudah hadir di hibupku dan mewarnai hariku”.

Sunggu sesak dadaku menerima kenyataan bahwa sekuat apapun aku meminta pada Tuhan, dia tidak akan pernah kembali, senyumannya yang tulus tidak akan bisa ku lihat lagi. Aku menangis tersedu – sedu di atas makam Yusuf, karna mungkin ini adalah terakhir kalinya aku mengunjungi makan ini sebelum aku keluar kota dan ntah kapan aku kembali.

“selamat tinggal Yusuf”. Aku melangkah pergi meninggalkan makam Yusuf dengan perasaan bersalah yang tidak pernah pudar.

 

 

Malam ini aku sedang memasukkan barang – barangku ke dalam koper, esok aku akan memulai kehidupan baruku dengan pindah dari kota ini.

“huuh...”. aku menghembuskan nafas dan memasukkan buku milik Yusuf ke dalam tas selepang, aku akan membawa buku ini sebagai kenangan dengannya.

“nak...”. sapa Ibuku yang tiba – tiba masuk ke dalam kamarku lalu duduk di sampingku.

“Terimakasih ya Bu sudah izinin Nisa pindah keluar  kota”. Ucapku sambil memeluk erat ibuku.

“iya gak apa-apa nak, Ibu paham perasaan Nisa, kamu hati – hati ya di sana”. Jawab ibuku sambil mengusap punggungku penuh sayang.

“Bu, Nisa ngerasa bersalah terus sama Yusuf”

“sssuttt, sudah gak apa-apa, jadikan ini pembelajaran buat kamu, bahwa Nisa gak boleh menyia – nyiakan orang yang tulus kepada Nisa, ini juga udah takdir, jadi Nisa gak boleh terus – terusan menyalahkan diri sendiri ya”. Jelas Ibu menenangkan ku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban bahwa aku mengerti.

“Sekarang Nisa tidur ya, sudah malam, jangan sampe besok pagi ketinggalan Bus”.

“Tidur sama Ibu boleh?”.

“Dasar, ya sudah boleh”. Ibu memberiku izin sambil mencubit hidungku.

 

 

Pagi hari  aku sudah ada di halte Bus ditemani oleh Ibu dan Adikku. Halte juga sudah mulai dipadati oleh manusia yang akan pergi ke tujuannya masing – masing.

“Kamu jangan nakal ya, dan jagain Ibu, Okey”. Aku berpesan kepada adikku.

“oke siap kak, kak Nisa hati – hati disana ya”.

“Iya nak, jangan lupa selalu kabarin Ibu ya”.

“Siap Bu, kalo begitu Nisa pamit ya Bu, dek”. Ku cium tangan Ibuku lalu memeluknya, setelahnya aku melangkah masuk kedalam Bus, ku lambaikan tangan kepada Ibu dan adikku sebagai tanda perpisahan, jujur sebenarnya aku tidak mau meninggalkan mereka, tapi aku terpaksa mengambil keputusan ini untuk sedikit mengobati rasa bersalahku.

 

Aku duduk di kursi samping kaca, Bus yang ku tumpangi sekarang sudah mulai melaju membawaku menjauh dari kota asalku, aku terus memandang keluar jendela, menikmati pemandangan kota yang ramai oleh para pengendara motor dan mobil, aku mengeluarkan buku milik Yusuf dari dalam tas, buku ini yang memberiku bukti perjuangan Yusuf untuk mendapatkan hatiku, dan buku ini juga yang memberi tahuku siapa sebenarnya Yudi dan di mana dia sekarang. Aku akan memberitahu sedikit isi buku ini pada kalian.

 

‘Aku akan selalu menulis perihal tentangmu, kau akan membisu dengan pengetahuanmu sendiri, ketika tahu bahwa aku adalah seseorang yang akan menjadikanmu abadi pada secarik kertas kosong’. Tulis Yusuf di halaman pertama buku ini. Aku kembali membuka beberapa halaman berikutnya.

 

‘setiap hari aku jatuh cinta pada mata dan senyuman nya, pada mata yang berkilau dan senyum yang teramat menenangkan itu, walaupun senyum itu akan hilang ketika aku mulai mendekatinya’. Senyumku mengembang membacanya, Aku memang bodoh menyia – nyiakan Yusuf, andai dia masih ada di dunia ini aku akan selalu memberikannya senyuman termanis setiap harinya. Ku buka lembar berikutnya.

 

‘hari ini aku akan kembali menyatakan perasaanku kepada Nisa, mungkin dengan cara yang berbeda, aku akan memberikannya bunga di hadapan banyak orang, agar dia tahu bahwa aku memang mencintainya dan akan menunjukkan perasaanku secara terang – terangan di hadapan banyak orang’.

 

‘sedikit kecewa ketika dia memukul wajahku sampai mimisan, dia marah karna dia menganggap hal yang ku lakukan membuatnya malu, saat itu ntah kenapa aku hanya diam saja dan membuang bunganya ke tong sampah. Mungkin aku akan menghindar terlebih dahulu dari Nisa’.

Aku yakin dia menulis ini di hari dia memberiku bunga di lorong kelas, aku memang keterlaluan telah memukul wajahnya saat itu.

 

‘sudah hampir sebulan aku tidak menampakkan diri dihadapan Nisa, rasanya satu bulan ini berlalu begitu lama, tapi siang tadi sepulang kuliah tanpa sengaja kami bertatapan, aku hanya memberikannya senyum lalu melangkah pergi keluar kampus, sebenarnya aku ingin sekali menyapa dan menanyakan kabarnya, namun ku urungkan niat ku itu, aku takut mengganggunya dan membuatnya marah, apa mungkin aku harus menjadi orang lain dulu agar Nisa mau berbicara denganku?. Jika itu bisa maka akan ku lakukan’.

Aku heran kenapa Yusuf sampai benar – benar bertekat seperti itu, tapi terimakasih Yusuf karna tulisanmu aku bisa tahu bahwa ada laki – laki yang tulus dan nekat melakukan apapun hanya untuk bisa berbicara dengan orang yang dia cintai.

 

‘hari ini adalah hari berbahagia bagiku, akhirnya setelah beberapa bulan aku bisa berbicara dengan Nisa, walaupun yang dia tahu aku bukan Yusuf, melainkan Yudi. Aku menemuinya dan berpura – pura sebagai Yudi saudara kembar Yusuf, jika dia tahu bahwa Yusuf tidak punya kembaran pasti dia akan marah, tapi tidak papa aku akan tetap berpura – pura sebagai Yudi agar bisa bersamanya’.

Dasar Yusuf penipu, dan bodohnya aku mudah tertipu dan percaya bahwa Yudi adalah kembaran Yusuf.  Kalian sudah tahu bukan siapa Yudi?. Yudi adalah Yusuf yang rela berpura – pura hanya demi bisa bersamaku, dan iya usaha dia berhasil bukan, setelah aku bertemu dengan nya sebagai Yudi aku juga lebih sering menghabiskan waktu bersamanya, namun yang aku tahu dia adalah Yudi bukan Yusuf.

 

‘hari ini aku memberanikan diri untuk bertemu dengan Nisa sebagai Yusuf, dia lebih tenang sekarang saat aku menghampirinya, biasanya dia akan segera menghindar, dan yang paling membuatku terkejut adalah saat dia meminta maaf atas perihal dia, yang menamparku waktu itu, bahagia sekali rasanya hatiku, ingin sekali aku berteriak saat itu juga dan mengaku bahwa tidak ada Yudi di dunia ini, hanya ada Yusuf. Tapi ku urungkan niat ku, aku akan memberitahu nya nanti, di saat yang tepat’.

Dasar kunyuk. Kalian ingat kejadian itu bukan, saat dia datang dan memberiku semangat untuk mengerjakan tugas di taman kampus. Aku membuka halaman berikutnya, ini adalah halaman terakhir, sebenarnya aku tidak sanggup membacanya kembali, halaman terakhir yang dia tulis sebelum meninggal.

 

‘Hai Nisa, mungkin ini adalah yang terakhir, maaf tidak bisa bertahan, di saat aku pulang setelah menyemangatimu sore itu, aku kembali memeriksa keadaan Cafe, namun sayangnya saat di perjalanan pulang kedua begal itu kembali dan menyerangku di saat tidak siap, orang – orang membawaku ke rumah sakit, aku senang masih bisa membuka mataku, tapi aku rasa aku tidak bisa bertahan lama, karna itu aku menuliskan ini terakhir kalinya untukmu. Nisa senang bisa bertemu dan mengenalmu, memang sangat singkat namun sangat berkesan bagiku. Kamu baik, aku suka. Maaf telah membohongi dan berpura – pura sebagai Yudi, maaf karna sering membuatmu marah dengan tingkahku, aku harap kamu melanjutkan hidup dengan baik dan tolong jangan merasa bersalah atas apa yang terjadi, tetaplah jadi gadis yang ceria, dan satu lagi, AKU MENCINTAIMU. Terimakasih Nissa, selamat tinggal’.

Air mata ku kembali keluar setelah membaca halaman terakhir, sesak sekali rasanya menyadari diriku yang sudah menyia – nyiakan Yusuf yang begitu tulus pada ku. Aku segera menghapus air mataku ketika mengingat pesan Yusuf kepadaku yang dia tulis di buku itu. Tak lama aku sudah sampai di perbatasan pulau Sumatera dan pulau Jawa,  aku sudah ada di atas kapal yang mulai berlayar menjauh dari dermaga. Aku berdiri di pinggir kapal dan menatap ke arah menara siger, menara itu adalah lambang kota Lampung sekaligus menjadi titik 0 Sumatera. Kuhirup udara sambil memejamkan mata

“Terimakasih Yusuf, kamu memberiku banyak pelajaran, kota ini akan tetap menjadi kota terindah, tapi aku harus meninggalkannya untuk sementara waktu sampai aku bisa menerima takdir, aku akan melanjutkan hidupku dengan baik seperti pesanmu, terimakasih telah berkorban banyak untukku”.

 

 

Begitulah kisahku dua tahun yang lalu, dan sudah dua tahun pula aku berada di kota ini sekarang, di Yogyakarta. Aku menulis cerita ini sebagai bentuk persembahan ku untuk Yusuf, aku akan mengabadikan nama dan perjuangannya memalui cerita ini, Yudi dan Yusuf dua sosok dalam satu wujud yang akan selalu ku kenang dalam perjalanan hidup, akan terus kunanti apa kejutan selanjutnya dari yang maha mengetahui atas segala makhluknya.

Semoga kisahku bisa menjadi pelajaran bagi kalian untuk menghargai seseorang yang berjuang dengan tulus untuk kalian. Belajar menghargai seseorang ya, Jangan pernah menyepelekan hal – hal kecil, jangan pernah mengabaikan kepedulian dari seseorang, karna tidak semua penyesalan bisa dibayar dengan kata “maaf”.

 

SELESAI

 

 

“Jangan takut untuk melakukan hal yang ingin kau lakukan, berjuang hingga akhir untuk mendapatkan dirinya adalah hak mu sebagai manusia, jangan sampai menyesal karena tidak mencoba untuk melakukannya, namun adalah hak tuhan untuk menentukan engkau lebih dulu berjodoh dengan kematian atau dengan manusia"

 

-Irhan Aja-

Komentar

Postingan Populer