MANIS bag II
MANIS
Karya
: Ilham Ramadhan
2
Akhir pekan ini, kami
sekeluarga berencana untuk liburan ke Bandung, selain mengunjungi beberapa
tempat wisata disana, kami juga berniat menilik mertua ku di Bandung, dan yang
paling penting secara personal bagiku adalah, aku ingin menyambangi toko sepatu
impian sahabat sekaligus mantan kekasih ku yang kabarnya kini telah berdiri di
kawasan Cihampelas Walk. Aku tak sabar melihat kembali orang yang pernah
mencatatkan kisah manis di hidup ku. Perjalanan dari Malang menuju Bandung yang
menelan waktu sekitar 10-11 jam ini cukup berhasil membuatku stress. Penat dan
bosan selalu hadir setiap mobil kami memasuki jalan tol yang entah berapa kali
telah dilewati. Tapi tiap kedua rasa itu muncul, tiba-tiba datang rasa senang
karena mengingat akan bertemu seseorang, Julian.
Malam hari kami sampai
di rumah mertuaku yang terletak di distrik Soreang. Sambutan yang hangat sangat
kami rasakan, karena terlalu lelah dalam perjalanan, malamnya keluarga kami
memilih beristirahat, tentunya setelah mengobrol dengan orang tua dari suamiku
ini. Sebelum tidur, suamiku pamit kepadaku bahwa besok mungkin dia tidak bisa
menemani aku jalan-jalan dulu, karena dia ingin mengobservasi tanah yang akan
diberikan oleh ayahnya untuk investasi, namun dia mengizinkanku untuk membawa
mobil sendiri, aku tersenyum dan mengangguk.
Pada pagi hari,
sebenarnya aku sudah berazam mengajak anak-anak ku berkunjung ke Trans Studio
Mall, namun ternyata mereka berdua malah diajak neneknya pergi belanja.
Kegirangan mereka ketika diajak neneknya berhasil menghadirkan senyum di
bibirku. Aah, mungkin aku akan lanjut istirahat saja hari ini, agak malas
memikirkan harus pergi sendiri yang entah mau kemana nanti. Ku rebahkan diriku
ke kasur, membuka gawai milik ku
sambil membuka Instagram, siapa tahu salah satu toko fashion favoritku sudah
kembali menambah suplai tas nya yang kemarin sempat aku suka namun habis. Belum
sampai 15 menit aku menggulirkan layar melihat katalog toko favoritku, mendadak
pikiran ku seperti disentak oleh sebuah ingatan. Eh,, tunggu! Aku punya rencana
pribadi disini.
Tanpa pikir panjang,
aku segera bergegas mengambil kunci di gantungan pintu kamar kami, aku akan
pergi ke Cihampelas Walk sekarang juga.
Pernahkah kamu merasa
sangat bersemangat seperti akan melihat sesuatu atau seseorang yang sudah lama
sekali kamu dambakan? Aku sedang berada diposisi itu sekarang. Aku akan bertemu
sahabat lama sekaligus mantan kekasih ku itu. Tak bisa ku membayangkan seberapa
lebarnya dia tertawa untuk menunjukkan bahwa dia bukan lelaki dengan omong
kosong tentang toko sepatunya. Sangat sulit membayangkan bagaimana wajah Julian
ketika nanti pertama kali melihat aku setelah sekian lama. Tak sabar sekali
rasanya mendengar tawa dan suara yang samar-samar masih kuingat ini. Tak sabar
pula aku untuk bertukar kabar dengannya, mendengarkan kira-kira masalah dan
rintangan apa saja yang telah dia lewati hingga dia bisa membuka toko nya itu.
Tak berhenti aku
menerka-nerka bagaimana kehidupan asmaranya sekarang, apakah dia sudah
menemukan pujaan hati nya sekarang, atau mungkin dia sudah punya anak? ah,
pasti anaknya mempunyai mata yang indah persis seperti dirinya. Aku ingin tahu bagaimana
keadaan adik-adiknya, bagaimana kabar orang tua nya, bagaimana keadaan bisnis
nya, bagaimana keadaan finansial nya sekarang, dimana motor Vario yang dulu
sempat kami naiki bersama itu. Kulewati
lampu merah demi lampu merah di kota bandung ini ditemani dengan suara musik
yang keluar dari radio mobilku, sepanjang jalan aku hanya ingin teriak
"JULIAAAAAN, AKU DATAAAANG!!"
Sampailah aku di
Cihampelas Walk, aku ingat nama toko sepatu Julian berkat sebuah warta dari
salah satu temanku, "JUHARON SHOES" Iya, itu namanya. nama yang
diambil dari singkatan nama lengkapnya, Julian Haris Roni. Cukup lama aku
mengitari area ini, diujung rasa lelah yang mulai hinggap di kaki ku, akhirnya
aku menemukan sebuah toko sepatu bertema eropa, kecil tapi elegan, dihiasi bunga
alamanda yang indah berwarna kuning merambat, lengkap dengan plang toko kecil
yang menggantung, ditahan dengan sepasang rantai kecil bertuliskan
"JUHARON SHOES". Ini dia tokonya, tanpa basa-basi lagi, aku bergegas masuk
ke dalam toko berharap ada Julian disana. Ketika aku masuk ke dalam toko, ada
seorang lelaki tinggi semampai menyambutku.
"Selamat datang di
Juharon Shoes kak, silahkan." sapanya.
Lelaki itu terlihat
seperti seorang pramugara, badan proporsional, rambut rapi yang disisir ke arah
kanan, dia memiliki senyum yang manis dan mata yang jernih. Aku menghampirinya,
dia bertanya padaku
"Ada yang bisa
dibantu kak?"
Aku masih terpaku
melihatnya, tak sadar kalau aku sedang ditanya olehnya.
"Kak? kakak mau
cari sepatu apa biar bisa saya bantu."
"Eh, iya,, aduh
maaf maaf. Saya lagi banyak pikiran, hahaha."
"Iya kak, gapapa.
Kakak nya mau cari sepatu yang model gimana nih?"
"Ehm, anu mas.
Saya sebenarnya bukan lagi cari sepatu, saya lagi cari seseorang."
jawabku.
"Bisa dibantu kak,
kakak nya mau cari siapa ya?" tanya seorang kasir yang sepertinya bukan
hanya dia yang bekerja disini.
"Saya lagi cari
orang yang jadi asal muasal nama toko ini mas, Julian. Ada?" tanyaku.
Lelaki yang tadi
menyambutku saat masuk toko itu sekejap terlihat kaget dan menyadari sesuatu,
hingga sapaan darinya untukku yang awalnya "Kak" menjadi
"Mba". Cukup lama dia memikirkan sesuatu itu sampai aku kembali
bertanya
"Ada mas?"
"Eh, mohon maaf
mba, bisa dibantu dengan nama anda mba?" pinta Ardi, sang kasir yang
sangat sopan dan ramah itu. Aku bisa mengetahui namanya karena dia memakai
name-tag yang mungkin memang toko ini siapkan untuk pegawainya.
"Kania
Larasati" tegasku berharap.
Mendengar jawabanku,
Ardi terlihat menelan ludah. Memang tidak terlihat dengan jelas, tapi lulusan
psikologi seperti aku ini dapat melihatnya dengan jelas, seperti ada yang
disembunyikan disini.
"Mohon maaf mba, sepertinya
kalau untuk sekarang saya belum bisa membantu mba. Kalau mba bersedia, mungkin
akan saya beri kabar mba kembali di jam makan siang ya mba." Jawabnya.
Aku melihat arloji
milikku, sadar bahwa jam makan siang akan tiba 15 menit lagi.
"Baik, saya ke
cafe seberang aja ya, nanti temui saya disana." pintaku.
"Dengan senang
hati mba." tutupnya.
Aku berjalan
meninggalkan toko itu dan menuju ke arah cafe yang terletak di seberang jalan.
Teh pesananku tiba hampir bersamaan dengan tibanya Ardi.
"Boleh saya duduk
disini mba?" dia bertanya dengan sikap sopan yang masih dibawa sampai
sekarang. Mungkin ini alasan Julian mempekerjakan dia.
"Silahkan"
jawabku sembari mengangkat tangan ke arah kursi yang persis berada di seberang
kursi ku.
Obrolan dimulai
"Mana
Julian?" tanyaku membuka obrolan.
"Mas Julian gabisa
kesini mba." jawabnya singkat.
Aah, anak itu. Makin
sibuk saja sepertinya. Apakah sebuah toko sepatu yang jadi impiannya dari dulu
belum memenuhi tabung "puas" miliknya.
"Kenapa? masih ada
meeting kah dengan orang lain?" aku bertanya dengan berapi-api.
Aku mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang Julian kepada Ardi, tapi yang kulihat hanya Ardi
yang mengambil nafas sangat dalam, sehingga dada nya kembang kempis secara
perlahan. Setelah beberapa saat, akhirnya jawaban yang ku tunggu-tunggu keluar
dari mulut Ardi.
"Mba, mas Julian
yang mba cari dari tadi adalah mantan bos kami disini, dan sekarang toko ini
saya yang ambil alih sebagai pemiliknya. Ceritanya panjang mba, cuma yang mba
Kania perlu tau, mas Julian udah ga disini lagi." jelasnya.
"Terus dimana dia
sekarang? merantau lagi? dia buat usaha baru lagi?" tanyaku masih penuh
rasa penasaran.
"Mba, mas Julian
bukan ga di Bandung lagi, tapi udah gaada di dunia ini lagi." jawabnya
dengan nada rendah.
TUSSSSSSSSS!!!!! Hatiku
seperti meletus seketika, diam tanpa kata adalah hal yang aku lakukan di depan
Ardi saat itu.
"Mas Julian sudah
pergi setahun yang lalu, beliau mengidap kanker paru-paru, keadaan badannya
menyerana setiap hari mba. Saya adalah teman dekatnya mas Julian, saya tangan
kanan mas Julian yang saat ini dipercaya untuk mengambil alih toko ini. Toko
ini tadinya mau saya ubah namanya mba, tapi saya selalu ingat pesan dari mas
Julian. Mas Julian pernah ajak saya ngobrol secara empat mata."
"Di, dulu ada
seorang wanita yang sangat cantik yang pernah jadi pengisi hati saya ini semasa
masih kuliah di jogja, namanya Kania Larasati. Dulu kami pernah janji akan
ketemu lagi, dia ngomong kalo dia bener-bener pingin ngeliat saya sukses, dia
pingin ngeliat toko sepatu milik saya yang dari dulu selalu kami obrolin. Gatau
kapan dia akan kesini, tapi saya percaya dia pasti akan kesini. Jadi tolong,
ketika mungkin saja nanti ada sesuatu yang terjadi pada saya dan toko ini saya
berikan ke kamu, tolong jangan ganti nama toko ini, biarkan dia mencari dan
menemukan toko ini. Biarkan dia menyaksikan bahwa omongan saya bukan sekedar
omong kosong. Dan ntah kapan itu, ketika mungkin nanti dia kesini, sampaikan
padanya kalau saya sudah bahagia, saya sudah berhasil mencapai mimpi saya.
Sampaikan padanya bahwa saya bangga dengan kehidupan yang berhasil dia gapai
sekarang, saya dengar dia sudah menikah, dan mempunyai 2 anak yang lucu-lucu.
Sampaikan juga rasa bangga saya ke dia karena kalau dia kesini, berarti dia
sudah menepati janji nya. Tolong ya, Di."
"Begitu kira-kira
mba Kania" Ardi menutup cerita untukku yang masih menyajikan tatapan
kosong untuknya.
Mungkin karena Ardi
masih melihatku tercokoh, dan tak mau merusak suasana saat itu, ia berpamitan
"Saya pamit dulu
mba, jam makan siang nya sebentar lagi habis, saya harus jadi contoh untuk dua
karyawan itu." pungkasnya.
Ardi berlalu
meninggalkanku yang masih asyik menikmati suasana hancur dan kosong yang ada di
relung hati ini. Aku bangkit dari tempat dudukku, meninggalkan cafe itu bersama
dengan rasa hampa yang ada dalam sanubari, dilengkapi dengan rasa lemas di
lutut ku menuju ke arah mobil. Aku meninggalkan area itu masih dengan perasaan
tak percaya. Semua yang Ardi ceritakan seperti dongeng untuk tidur malam yang
dibacakan saat sarapan, tapi aku bisa meyakini 100% bahwa Ardi tak berbohong
saat itu, dari cara dia bercerita dengan tenang hingga pupil mata yang tak
kesana-kemari kemudian ditambah dengan sumbangan gestur tangan saat bercerita
tadi menunjukkan bahwa dia jujur.
Aku melewati jalanan
yang tadi sempat kulewati saat berangkat, berhenti di lampu merah yang sama
namun dengan perasaan yang berbeda. Lagu yang berputar di tape mobilku pun
masih sama dengan lagu yang ku putar saat berangkat tadi, namun feel nya bukan lagi semangat yang
menggebu-gebu, tapi rasa hancur yang arahnya tak menentu. Julian, kamu lagi
dimana? Kamu lagi apa? Kamu lagi senang atau sakit sekarang Julian? Jawab aku
sekarang.
Kota kembang yang
seharusnya mampu membuat hatiku mekar, merah, merekah justru malah menggugurkan satu bunga yang ada
di dalam hati bak musim kemarau yang panjang. Harusnya Julian kembali menyirami
bunga itu dengan candaan dan nyanyian yang merdu hari ini. Tawa para anak-anak
yang tulus di sepanjang jalan kota bandung tak mampu merubah mood ku menjadi lebih baik. Aku masih
ingat dulu ketika suasana hatiku sedang berkelukur seperti ini, pasti ada saja
satu cara yang akan Julian lakukan untuk mengubahnya. Tak terasa sudah basah
sekali pipi ini diguyur air mata yang enggan menahan diri untuk tetap berada di
tempatnya, aku menangis tanpa suara di dalam mobil di kota Bandung hari
ini.
Mobil berhenti di depan
rumah mertua ku, kulihat kembali jam tangan, waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB.
Suami menyambut kedatanganku dengan pertanyaan "Darimana sayang?" Dia
tahu kalau aku baru saja menangis, wajahnya mendekat kearah ku bersamaan dengan
pertanyaan "Kamu kenapa?" darinya. Aku yakin dia tahu aku darimana
dan tahu bahwa aku baru saja mengunjungi mantan kekasih ku dulu, tapi mungkin
yang jadi pertanyaan dia adalah "Kenapa nangis". Sudahlah mas, aku
belum bisa cerita untuk saat ini, tapi aku janji pasti akan kuceritakan dengan
rinci ketika hatiku ini sudah membaik.
Terima kasih Julian,
kamu menunjukkan padaku bahwa ada orang yang sangat memegang teguh janji dan
impian, orang yang berambisi tinggi namun tetap berisi. Aku akan selalu mendoakan
terus kamu disana, semoga kamu selalu bahagia. Walaupun aku tak tahu doa ku ini
akan sampai kepadamu atau tidak, tapi aku yakin kamu tahu bahwa aku masih
peduli denganmu. Terima kasih karena sudah sempat menghadirkan kata
"MANIS" dalam lembaran buku yang kusebut "HIDUP" ini. Semua
yang terbaik untukmu, Julian.
~
Komentar
Posting Komentar