ENDING
ENDING
Karya
: Ilham Ramadhan
Apa kamu percaya dengan yang namanya cinta?
Kamu masih percaya bahwa cinta yang membuat hidup
ini indah?
Apa kamu masih percaya kalau cinta bisa mengatasi
masalah di setiap sudut kehidupanmu?
Itulah kata-kata yang lalu lalang di fikiran ku
malam ini, kata-kata yang muncul dalam otak ku setelah aku, Indri merasakan hal
yang sangat sesak untuk ditanggung, hal yang membuatku menangis sesegukan dari
sore hari di kala hujan masih membasahi kota jakarta selatan ini, hingga pada malam ini air Tuhan yang
turun sudah reda, namun lagi lagi tak dapat aku menahan tiap tetes air mata
yang ingin terjun bebas dari mata ke pipi ku. Ah, aku tidak tahu sampai kapan
aku begini, meratapi sebuah kejadian yang baru saja aku rasakan, ditemani oleh
selimut kasur ku yang ku pegang erat-erat untuk menutupi air mataku karena aku
takut dan malu jika saja ada ayah atau ibu ku yang tiba-tiba membuka pintu
kamarku itu.
Tugas dari kampus yang seharusnya aku selesaikan
malam ini pun sama sekali belum ku sentuh. Sebenarnya aku takut mengingat tugas
yang diberikan dosen killer ini berhukum Fardhu untuk ku kerjakan, maklum
seorang dosen ternama yang juga bekerja di Universitas Ternama di kota ini
memang sangat menomorsatukan disiplin. Tapi biarlah, biarkan aku larut dalam
kesedihanku malam ini, semoga saja esok pagi aku masih bisa mengenali suaraku
sendiri.
Aku ingin sekali meneriaki dengan lantang
orang-orang yang beranggapan bahwa "Cinta adalah bunga kehidupan".
AHH! OMONG KOSONG!!
Menurutku cinta adalah sebuah kata yang bisa membuat
seseorang menjadi hamba dari sebuah angan-angan yang entah sampai kapan akan khatam.
Cinta adalah sebuah kata yang di dalamnya mengandung secercah cahaya, namun
bisa saja cahaya itu redup atau dimatikan tanpa aba-aba.
Aku tidak percaya aku pernah sebodoh itu untuk
sempat meng-iya-kan omongan
orang-orang yang berkata bahwa segalanya hal yang berbau cinta itu manis,
hingga David seorang teman lelaki ku di kelas menyadarkan aku bahwa indahnya
cinta hanya asa yang berciri fatamorgana.
David namanya, seorang lelaki tampan yang aku kagumi
sejak kami kelas 1 SMA. Aku dan David selalu satu kelas, bahkan sampai di dunia
perkuliahan ini, mungkin ini yang namanya "Semesta Mendukung". Aku
mengagumi nya bukan hanya beralaskan tampangnya yang rupawan, namun tingkat
kedewasaan dia yang menurutku sangat berbeda dari teman-teman seusianya. David
adalah seorang murid yang tidak terlalu populer di SMA kami dulu, dia tidak
ikut OSIS, Pramuka, Paskibra, Futsal atau apapun itu, dia adalah tipe murid
yang tergolong pendiam, tidak suka mengikuti obrolan yang waktu itu sedang
hangat dibicarakan oleh teman-teman lelaki yang lain, yaitu piala dunia. David
adalah sosok yang dingin sekaligus hangat, setidaknya itu yang aku rasakan.
Meski tergolong pendiam, namun cara dia berfikir dan
melihat dunia dari kacamatanya sangat membuatku terkesima, pernah kami menjadi
satu kelompok di pelajaran Geografi, dari cara dia menentukan masalah,
mengutarakan pendapat dan mencari solusi di materi itu berhasil membuatku
menilai David berbeda dari yang dikatakan teman-teman ku tentangnya. Entah
mengapa setiap kali ia berbicara, David seakan menebarkan aura positif, itu
luar biasa walaupun mungkin hanya aku yang merasakan aura itu. Satu lagi, menurutku
David adalah orang yang lucu, humornya ketika mempresentasikan hasil kerja
kelompok kami di depan kelas membuat seisi kelas tertawa, dan ya benar, aku
tertawa paling kencang.
Dari kerja kelompok itu lah akhirnya David sering
menghubungi ku, setelah tugas Geografi kami selesai, satu malam aku dikagetkan
oleh sebuah pesan di handphone ku, dan itu dari David.
"Pasti lagi nugas ya..?"
Begitu pesannya malam itu padaku, aku membalas
"Haha. Iya nih, kok tau?"
"Iya dong, ga mungkin manusia paling pintar di
kelas bisa lupa tugas tadi siang", balasnya.
"Iya nih, Pak Mardi kalau ngasih soal kuis kok
selalu beranak begini ya soalnya.." jawabku.
"Mungkin emang istrinya lagi mau beranak kalii,
jadi beliau terobsesi dengan hal-hal yang berbau anak" balasnya bercanda.
Sial, aku tertawa.
Obrolan malam itu menjadi sebuah gerbang awal
hubungan baik kami, hingga pada suatu hari David mengajakku untuk pergi ke
bioskop yang ada di Plaza Indonesia, dia mengajak nonton film Koala Kumal milik
Raditya Dika. Kami menonton di jam penayangan sore, sehingga ketika kami keluar
bioskop, masih ada waktu untuk makan bersama sambil berbincang. Aku ingat waktu
itu kami makan di KFC Ratu Plaza, di tempat inilah aku kembali sadar bahwa
David yang dikenal orang lain di kelas bukanlah David yang kulihat dari mata
dan pikiranku.
Obrolan kami pada saat itu mengenai cita-cita, David
secara mengejutkan mampu berdebat dengan wawasan yang dia punya.
"Jadi cita-cita lo apa, ndri?"
"Buset, kenapa tiba-tiba bahas cita-cita
nih?" tanyaku bergurau.
"Engga, gua penasaran aja hidup kayak gimana
yang mau lo gapai" jawabnya.
"Gua si dari dulu pingin banget jadi
penulis." jelasku.
"Oh." Pungkasnya singkat.
Karena tak puas dengan jawaban singkatnya, entah
kenapa aku ingin menguji kembali keluasan cara berfikir David
"Tapi gua ga terlalu suka baca buku si,
hehe." terangku sambil berharap ada jawaban memuaskan darinya. Benar saja
"Yeeeeeuuu. Lo pikir Chef Juna bisa jadi koki
yang hebat tanpa pernah ngerasain makanan-makanan yang luar biasa
duluuu..." jawabnya
Aku tersenyum, ini yang aku suka dari David. Sepatah
dua patah kata yang simple tapi selalu masuk akal logika.
"Kalo lo sendiri, mau jadi apa?" tanyaku
penasaran.
"Astronaut."
"Hah, Astronaut??!" tanyaku kembali,
keheranan.
"Iya, kenapa emangnya?" sembari
mengernyitkan dahi nya.
"Kenapa pingin jadi astronaut?" tanyaku
lagi.
"Kayaknya enak pergi keluar angkasa, terbang
dan mungkin tinggal disana. Ga ketemu orang orang yang ngeliat lo sebagai
seorang yang aneh, ga perlu lagi takut mikirin sebenarnya ada yang nganggep lo
gasi, gitu.." jawabnya penuh semangat.
Aku tertegun sejenak ketika David bilang seperti
itu, ketidak tahuan untuk menjawab apa yang sampai pada akhirnya aku hanya
memuji keinginannya itu, aku memujinya karena dia punya mimpi yang tinggi.
Hari itu selesai, aku diantar pulang olehnya
menggunakan motor Beat Street tahun 2016 miliknya. Anehnya, ketika ia
berpamitan pulang dan aku masuk kedalam rumah, aku merasakan ada yang hilang.
Aku merasakan seperti ada sesuatu yang harusnya masih ada disampingku sekarang.
Ah, masa si aku jatuh cinta kepadanya. Hari demi hari kami lalui, tidak jarang
juga kami keluar untuk jalan-jalan keliling kota Jakarta, bahkan pernah kami
hanya keluar untuk membeli jagung rebus dan memakannya diatas Fly-Over di
Jakarta Utara, melihat bis Arimbi, Primajasa yang melewati jalan dibawah kami
menuju terminal kampung rambutan.
Hari-hari kami lewati bersama, hanya sebagai teman,
iya teman. Akhir-akhir ini aku tahu pandangan David tentang asmara. Obrolan
kami di salah satu coffe shop di jakarta selatan menjadi permulaan aku tahu
bahwa David adalah orang yang bukan hanya hangat, tapi sekaligus realistis. Bukan Romantis. Walaupun sebenarnya aku
yakin dia sadar bahwa aku suka padanya, tapi aku sangat menghargai isi pola
pikirnya, terlebih tentang asmara yang menurutnya jika orang berpacaran itu
akan sangat mengekang. Aku sempat berdebat soal itu, aku jelaskan bahwa tidak
semua hubungan itu bersifat mengekang, tergantung kepada orang-orang yang
menjalankannya sebenarnya.
Tak terasa, hari perpisahan SMA kami telah tiba.
Jauh sebelum hari ini, kami sudah sempat merencanakan bersama kira-kira
Universitas mana yang akan kami ambil, jurusan apa yang kira-kira pas untuk
kami. Pilihan itu pun jatuh ke prodi Sastra Indonesia di UI. David lah
satu-satunya orang yang sama-sama belajar bersamaku, semangatnya seperti
menjadi sebuah pemantik untuk ku juga dalam meraih cita-citaku.
Singkat cerita, masuklah kami di Universitas
Indonesia ini, kami kembali satu kelas, aku sangat senang bisa kembali satu
kelas bersama David. Artinya aku bisa bertemu dia setiap hari, karena pasti
jadwal kuliah kami sama, aku juga bersyukur karena berarti tugas ku dan
tugasnya ada di rel yang sama dan kami bisa saling bertukar pikiran tentang
masalah yang ada di mata kuliah tertentu.
Siang itu setelah mata kuliah terakhir di hari Rabu,
kami makan berdua di warung pak Mamat, warung soto terenak di kawasan UI
menurutku. Disitulah diskusi berat kembali terjadi.
"Vid, lo ga berfikir buat cari pasangan gitu,
biar kuliah lo bisa jadi tambah semangat." tanyaku iseng.
"Belum pingin." jawabnya cuek.
"Yeeee, gapapa kali dicari sekarang, kan
mumpung kita masih semester 4 nih, jadi bisa tuh jadi korek buat lu untuk
ngidupin api semangat kuliah lo, lebih-lebih lagi kalo someone itu nanti jadi partner yang bisa nemenin lo wisuda
bareng." jelasku meyakinkan.
"Buat apa si gua cari seorang pacar, semangat
itu mah munculnya dari diri masing masing." tegasnya.
Bukan jawaban yang aku harapkan sebenarnya, tapi
yasudah lah.
"Vid, gua boleh jujur ga?" tanyaku.
"Boleh dong, jujur aja." jawabnya.
"Sebenarnya gua nganggep lo tuh lebih dari
sekedar teman belajar, lebih dari sekedar Best
Friend Forever di hidup gua." tegasku.
"Terus..?" tanyanya sambil mengerutkan
dahi sebagai ciri khas nya.
"Looo,, gamau ada komitmen sesuatu gitu buat
kita?" tanyaku penasaran.
Tak seperti biasanya, David agak lama membalas
pertanyaanku. Sembari menyeruput kuah soto, dia seperti memikirkan jawaban apa
yang harusnya keluar dari mulutnya.
"Gua juga udah ngerasa sebenarnya, mungkin lo
boleh bilang kalo gua GeEr, tapi kerasa, Ndri. Kerasa kalo lo ada sesuatu di
hati lo buat gua. Gua paham apa yang lo rasain, gua paham apa yang lo pingin.
Tapi maaf Ndri, kayaknya gua belum mau ada sebuah komitmen antara kita dulu, hehe.
Orang tua gua belum bisa gua bahagiain, mungkin diri sendiri aja kadang lupa
gua urus. Gua ngerti perasaan lo, tapi gua berharap lo ngerti juga ya keadaan
gua." jelasnya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa pada saat itu, yang
ada di pikiranku pada saat itu hanya mengangguk dengan menunjukkan senyum palsu
padanya dan menghargai keputusannya. Perihnya adalah, tiba-tiba dia memilih
untuk pergi duluan dengan alasan ingin menjemput adiknya yang pulang sekolah
sore ini. Aku hanya bilang, "Hati-hati."
Dari obrolan itu, hari-hari berikutnya aku seperti
melihat David "yang lain".
David yang seharusnya tidak begini. Memang tidak berubah secara 180 derajat,
tapi tetap terasa ada yang lain dari David yang sangat aku rasakan. Mungkin ini
yang dinamakan "Ditahan sesak, diungkap merusak." Aku bertanya-tanya,
apakah aku salah berkata di warung pak Mamat waktu itu? Ah, persetan dengan
semua itu. Jujur aku pun ingin sekali melihat reaksi David ketika aku
mengungkapkan apa yang aku rasakan.
Hari-hari berlalu, tugas demi tugas di semester enam
yang makin hari makin diluar kendali pun sudah puas kurasakan. Satu malam David
mengirim pesan padaku, lazimnya kami berdua yang selalu curhat tentang apapun
itu menjadi sangat menyakitkan malam itu.
"Ndriii, gua ketemu perempuan impian gua"
terangnya.
DEGGGG!! Bingung adalah kata yang sangat tepat pada
saat itu untuk menggambarkan hatiku. Bingung kenapa dia bisa cerita ini ke aku,
kenapa dia bisa bisa nya bohong soal isi pikirannya masalah asmara padaku.
"Wiiiih, siapa tuuuuh?" jawabku
menghidupkan obrolan.
"Silfia, anak Sosiologi" jawabnya.
"Waaaaah, selamat ya. Akhirnya dapet juga lo ya
penyiram hati lo yang tandus itu, hahahaha" balasku.
"Iyaaa, hahaha. Doain ya, biar lancar"
pintanya.
"Pasti dooooonggggg....." kataku.
Aku tahu David masih mengirimi pesan lagi kepadaku
di malam itu, tapi entah kenapa aku hanya ingin merubuhkan badanku ke kasur,
menghadap ke bantal, memunggungi atap. Hampa rasanya, ingin menangis tapi tak
bisa, ingin teriak tapi takut dianggap gila. Hampa, kosong, sepi, itu yang aku
rasakan. "Kenapa" adalah satu-satunya kata yang ada di otakku,
disusul pertanyaan yang bermuara pada "Kenapa David bisa sejahat
itu."
Tapi, aku tak mau berlarut malam itu, ku tahan sesak di dada ini sambil
mengerjakan tugas dari dosen favoritku, Ibu Nurlaila.
Sampai pada sore ini, ketika aku belanja di sebuah
minimarket di kawasan kemang, bermaksud ingin membeli stok bulanan yang sudah
Ibu titipkan ke aku tadi pagi. Aku terkejut ketika aku melihat David sedang
bersama seorang wanita yang mungkin katanya Silfia itu. Aku memilih jalan lain
dengan berputar arah sambil membawa barang belanjaan ku di kedua tangan,
sayangnya David sudah melihatku terlebih dahulu. Dia memanggilku dan
menghampiriku, sayang dengan kaki kecilku ini, langkahku tak cukup cepat untuk
berhasil menjauh dari David.
"Kok lo sendirian, biasanya sama bokap?, sini
gua bantu ya bawain belanjaan lo" katanya.
"Gausah, gua bisa sendiri" jawabku sambil
menahan tangis yang hampir jatuh dibalik kacamata ku.
"Kok gituu, gapapa sini biar gua bantu, kayak
sama siapa aja lo" paksanya.
"Gausah Vid, gua ga perluuuu..." jawabku
kesal
"Lo kenapa si?" tanya David.
"Gua kenapa?? Gua?? Lo yang kenapa Vid!! Kenapa
lo bisa sejahat ini sama gua Vid, kenapa lo bisa-bisanya bilang sama gua klo lo
blm berminat masalah komitmen asmara, tapi nyatanyaaaa....? dan kenapa lo
bisa-bisa nya cerita ke gua kalo lo punya pujaan hati sekarang, lo cerita sama
gua, padahal lo tau kalo gua suka sama lo Vid...? Kenapa??" tanyaku masih
menahan air mata.
"Karena gua kira lo adalah orang yang paling
bisa ngerti gua, Ndri." jawabnya
"Lo berharap gua bisa ngertiin lo, tapi lo ga
bisa ngertiin gua, Vid. Lo ga ngerti perasaan gua saat lo cerita lo nemu pujaan
hati lo itu. Dia ada di kehidupan lo dari kapan si?? Gua Vid, gua yang ada di
samping lo dari SMA, gua yang ada di samping lo ketika lo butuh bantuan, apapun
ituu, gua yang paham semua kesukaan lo, apa yang paling lo benci, gua yang
paling ngerti langkah apa yang bakal lo ambil untuk sebuah masalah, gua vid
guaaa, bukan diaaa....!!!" air mataku tak tertahan lagi.
"Ndri, gua ngerti perasaan lo, tapi jujur gua
ga menganggap lo lebih dari sekedar temen belajar, temen buat gapai cita-cita
bareng, cukup." pungkasnya.
"Mungkin lo harus mulai sadar Ndri, ini bukan
dalam film drama korea atau thailand favorit lo yang berakhir manis semua itu.
Ini tuh kehidupan yang nyata. Ga seperti di film, kehidupan nyata, bisa punya
ending yang berbeda."
Komentar
Posting Komentar