AKU HARUS APA? Bag III

AKU HARUS APA?

Karya : Ilham Ramadhan

 

3

 

Catatan : Cerita ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Penulis menyamarkan nama tokoh,                     tempat dan waktu demi melindungi privasi narasumber.

...

Aku melihat sebuah gundukan diatas kasur tertutup kain. Di sisi ruangan lain, kulihat Ibu sedang duduk membaca Yaasiin yang sedang ia pegang, lekas aku menghampiri Ibu dan menangis sejadi-jadinya di bawah lutut seseorang yang sudah lama sekali tidak aku temui ini.

"Ibuuuu, maafin Lukman ya, buuu. Maafin Lukman karena Lukman udah terlambat, maafin Lukman karena Lukman belum bisa jadi kakak yang baik. Maaf bu, maafin Lukman."

Segera aku menuju gundukan diatas kasur itu, aku segera memeluk gundukan yang tertutup kain ini. Aku tak percaya semua secepat ini, ingin sekali rasanya aku memutar waktu dan memarahi diriku yang dari kemarin sudah lupa dengan keluarga ini. Memang manusia tidak akan pernah mensyukuri apa yang dia punya sampai dia kehilangan itu semua. Tapi sebentar, sepertinya ini terlalu lembut untuk badan seukuran Gery, ah mungkin ini karena penyakit yang dia alami, sampai-sampai badannya jadi kurus dan tak berdaya seperti ini. Aku bergumam "Kasihan sekali kamu adikku".

Belum selesai aku menangisi kepergian adik tersayangku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara pintu kamar mandi yang terbuka, terlihat Gery berdiri disana sambil dibantu oleh Fajar, adikku kedua yang saat ini masih kelas 6 SD.

"Mas Lukman" Kata Gery.

Aku heran sekaligus senang ditambah rasa malu yang tak tertahankan, aku melihat Ibu, dia sedang menahan tawa setengah mati. Sigap aku membantu Gery untuk kembali ke tempat tidurnya.

"Mas Lukman udah lama datengnya?" Tanya Gery.

"Hahaha, gak kok. Barusan aja." Jawabku.

Kulihat senyum adikku yang sangat sumringah, mungkin dia senang melihat kakak yang sudah lama sekali tidak ia temui karena merantau. Belum selesai aku menikmati pemandangan senyum merekah yang disajikan oleh Gery, tiba-tiba ibu membuka obrolan untuk pertama kalinya.

"Mamas kalian itu tadi kayaknya udah mikir kehilangan seseorang deh, hahahaha. Memang agak kurang ajar mamas kalian ini."

"Ibuuuuu" Aku menutup wajahku menahan malu sembari berusaha mengeringkan air yang sampai sekarang masih melembabkan mata.

"Hahaha, enggak kok mas. Gery masih baik-baik aja Alhamdulillah. Mamas udah makan?" Jelas Gery sembari bertanya kepadaku.

"Ah, sudah tadi di perjalanan kesini." Jawabku singkat.

"Tak kira mamas nda pulang lho," Fajar bergabung dalam obrolan.

Aku tidak menjawab, aku masih merasakan senang sekali. Aku masih bisa melihat salah satu adik jagoanku ini masih bisa tersenyum dibalik sakit yang sedang dia rasakan, ternyata memang sifat tangguh dan pantang menyerah diriku menurun kepada Gery, dan semoga adik yang lainnya. Melihat senyum Gery yang terpancar di wajahnya, membuatku merasakan kebahagiaan laksana datangnya hujan setelah sekian lamanya kemarau di masa paceklik. Kamu tidak akan pernah tahu seberapa bersyukurnya aku di hari ini.

"Mamas kalian ini memang kayak gitu, pulangnya pasti jarang banget. Semasa libur pun pasti adaaaa aja alasannya, yang bimbingan dosen lah, yang kerja lah, hadeeeh." Ibu menjelaskan kepada adik-adikku yang memang kenyataannya begitu. Ingin sebenarnya aku debat pernyataaan Ibu itu dengan apa yang sebenarnya terjadi dan aku rasakan, tapi biarlah, yang penting Gery masih sehat.

"Shalat dulu gih." Ibu menyuruhku.

"Iya, Bu." Segera aku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan shalat di salah satu sudut ruangan di kamar anggrek ini. Selesai melaksanakan shalat aku bercengkerama kembali dengan adik-adik dan Ibu, rasa nyaman yang sebenarnya bisa dengan mudah aku dapatkan namun seakan hilang oleh radar karena tertutup kabut asmara yang berlebihan. Sayangnya, Sinta si adik bungsu tak ada di ruangan ini, dia dititipkan oleh Ibu di kediaman Bi Ponirah.

Tak terasa malam sudah menyapa. Bulan di malam ini serasa berbeda, tak seperti bulan yang sering aku lihat biasanya, dari jendela kamar kost yang tak ada kacanya, biasanya ditemani secangkir teh atau kopi beserta rasa hampa, kali ini bulan seperti tertawa, menebarkan semacam aura yang bisa memberikan rasa nyaman dan bahagia. Ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di balkon atas rumah sakit ini.

"Lagi ngapain, nak?" Tanya Ibu sembari berjalan dan duduk di sampingku.

"Eh, ini Bu. Aku lagi liatin bulan malam ini. Ibu belum tidur? Udah jam 10 lho ini."

"Belum. Ibu mau ngomong sama anak Ibu yang udah lama ga pulang ini." Senyum kecilnya terlihat di ujung mataku.

Aku menghadap ke Ibu yang saat ini sudah semakin jelas terlihat ada keriput hampir di setiap inci wajahnya. "Ibu, mau ngomong apa?" Aku bertanya. Ibu sempat menarik nafas yang agak berat sebelum akhirnya mulai berbicara.

"Akhir-akhir ini, Ibu ngerasa kayak kehilangan sosok jagoan Ibu yang dulu selalu cerita apapun ke Ibu. Ibu ngerasa akhir-akhir ini kayak kehilangan sosok Superman yang senangnya bercerita setiap kali dia selesai menaklukkan penjahat. Akhir-akhir ini Ibu ngerasa kehilangan sosok malaikat kecil Ibu dulu yang selalu pingin jadi nomor satu, pingin jadi yang terbaik, tapi ketika tangannya luka karena benerin rantai sepeda aja, nangis nya ga berenti sampe 2 jam sambil ikutin Ibu kemana pun. Ibu masih ingat banget dulu ada anak Ibu yang pulang nangis-nangis pingin makan kerupuk yang dilihat dia di warung seberang rumah. Ibu kangen sosok yang dulu bisa buat hati Ibu seneng walaupun dirumah udah gaada Bapak lagi."

Tak kuasa aku menahan air mata yang sedari tadi sudah berkumpul di ujung netra. Aku memeluk Ibu, kembali menangis di pundak yang dulu sering jadi tempat aku tidur ini. Aku kembali berpikir, apakah selama ini aku sejauh ini? Kenapa aku bisa berbeda dari Lukman yang dulu? Maafkan aku, Ibu. "Lelaki tidak boleh menangis, kecuali kalau dia sudah kecewa pada dirinya sendiri." Kata-kata itu yang selalu aku ingat. Aku dapat merasakan ibu berusaha menahan tangisnya setengah mati, gerakan sesekali dari bahunya ini menjadi pertanda.

"Sebenarnya apa yang ngebuat kamu jauh sama keluarga akhir-akhir ini, nak?" Tanya Ibu.

Aku tidak sanggup menjawab. Aku hanya menangis sejadi-jadinya, memikirkan betapa menyedihkannya hidupku akhir-akhir ini.  

"Nak, Ibu tahu kamu mau bantu Ibu untuk menghidupi keluarga akhir-akhir ini, mungkin kamu juga mau menjadi salah satu tulang punggung keluarga, tapi mungkin ga ada salahnya untuk fokus ke tujuan awalmu masuk kuliah. Ibu sangat bangga kalau punya anak dengan gelar sarjana. Ibu juga beberapa minggu ini udah dapet kerjaan baru kok. Kamu fokus aja ke kuliah ya nak, masalah pekerjaan disana nanti Ibu yang ngomong sama Om Faiz."

Mendengar perintah untuk meninggalkan pekerjaan, aku agak ragu untuk menjawab. Memang aku mendapatkan pekerjaan ini dulu sempat dibantu oleh paman jauh, tapi pekerjaan ini lah yang bisa membantuku, minimal untuk biaya bertahan hidup di dunia perkuliahan.

"Tapi gimana nanti kalau Lukman malah memberatkan Ibu, apalagi misalnya ada biaya tak terduga, contohnya malam ini, Bu?" Tanyaku.

Ibu menjawab pertanyaanku tadi dengan melihat jelas ke arah wajahku sembari memberikan senyum manis nya.

"Nak, rezeki itu cukup untuk hidup, tapi nda akan pernah cukup untuk gaya hidup. Rezeki itu pasti bakal selalu nemu jalannya untuk ketemu sama kita."

 

Pemirsa sekalian, inilah Ibu. Sejauh apapun kita meninggalkannya, selama apapun kita tak menegurnya, sebesar apapun kita nanti jadi dewasa, kita tetaplah anak kecil di matanya, yang selalu memerlukan kata-kata ajaib dari mulutnya, untuk memecahkan berbagai masalah di hidup kita.

Setelah mengumpulkan nyali untuk mengungkapkan isi hati, akhirnya aku berani untuk memulai.

"Bu, sebenarnya Lukman sendiri kepikiran banget sama rumah, sama Ibu, sama adik-adik. Tapi selain alasan kerjaan yang memang bener-bener gabisa ditinggal, Lukman mau cerita sama Ibu kalo Lukman sempet nemu seseorang yang bisa buat Lukman kuat disana, Bu. Orang itu yang buat Lukman bisa kuat disana walaupun sendiri, Lukman ngerasa dia bisa ngasih semangat dan dukungan ketika Lukman mulai goyah tentang perkuliahan karena mikirin kerjaan, mikirin Ibu sama adik-adik disini." Aku menjelaskan semuanya kepada Ibu.

"Dia juga salah satu orang yang buat Lukman bisa tetep lurus, Lukman tetep shalat, tetep berusaha fokus untuk kuliah, walaupun akhirnya gagal." Tambahku.

Ibu hanya melontarkan senyumannya padaku, lalu berkata

"Waaah, anak Ibu udah besar ya. Kayaknya baru kemarin mulai belajar naik sepeda."

"Maaf ya Ibuu..." Aku memelas karena merasa sudah menyakiti hatinya yang lembut.

"Ibu ga marah Lukman. Ibu cuma kaget, ternayata waktu berjalan secepat itu ya, nak."

"Terus, sekarang aku harus apa, Bu?"

"Sekarang kamu fokus ke tujuan awal ya, tujuan yang bisa ngebuat Ibu bangga nak, selesaikan kuliahmu, jangan sampai ada hal-hal yang bisa menghalangi dan mengganggu kamu, gausah mikirin lagi sesuatu yang belum waktunya untuk dipikirin, gausah mikirin segala sesuatu yang bukan urusanmu. Satu lagi, gausah takut hidup bakal jadi susah, lakuin semuanya dengan sepenuh hati, nanti uang bakal dateng sendiri. Ibu bakal tetep bangga kalaupun nanti kamu jualan nasi goreng kah, atau kamu jadi penjual kue putu keliling kah, atau apapun itu. Ibu cuma pesan itu tadi, lakukan semuanya dengan sepenuh hati, kebahagiaan-kebahagiaan lain pasti bakal mengikuti."

Aku melihat matanya sambil mengangguk pelan, kembali ku peluk Ibu dengan erat. Pelukan malam ini sangat-sangat berbeda dari biasanya, aku merasakan kehangatan tiada tara dan kenyamanan yang tak terhingga.

"Udah, Ibu mau istirahat dulu. Kamu duduk disini jangan lama-lama ya, udah malem, nanti masuk angin." Ibu berpamitan denganku.

"Iya, Bu. Sebentar lagi Lukman masuk ya." Jawabku.

Ibu kembali menjawab dengan senyuman khas nya, lalu berpaling menuju ke arah kamar dimana Gery dirawat.

Malam ini akan selalu teringat, di malam ini aku menyadari bahwa setiap waktu dalam kehidupan ini sangat berarti. Contohnya perbincangan Ibu denganku yang berlangsung hanya dalam beberapa menit tadi, dapat mengubah cara pandangku yang sudah lama melekat dalam otak bagai jentikkan jari. Sebuah petuah yang sangat aku perlukan saat ini, aku perlu mengubah cara hidupku yang sudah bisa ku bilang sangat menyakiti, menyakiti sosok yang membesarkanku, adik-adikku, hingga menyakiti diriku sendiri. Aku lega dan bangga masih memiliki sosok malaikat tak bersayap yang siap menyadarkanku ketika aku lupa diri, malaikat yang tak akan pernah lelah untuk menyayangi.

Rasa syukur kembali terucap tertuju kepada sang Ilahi, ditemani dinginnya malam yang menusuk hati, aku bersyukur malam ini aku disini. Menyaksikan kekuasaan yang tak masuk di akal logika, seakan-akan semua sudah terencana, "Hey, kamu sudah terlalu jauh dari jalur." Begitu Tuhan menegurku kira-kira. Hidup yang selalu berteman dengan nestapa, kali ini kembali ada di rel untuk menjadi seorang manusia.

~


Komentar

Postingan Populer